Selamat Tinggal Ramadhan, Apa Kabar Idul Fitri?



Alhamdulillah, malam ini saya diberikan kesempatan untuk menutup tarawih terakhir di masjid agung. Perasaan senang, karena ini pengalaman pertama saya mengikuti tarawih ke 30 di masjid besarnya Banyuwangi. Sedih sudah tentu. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ramadhan selalu pulang terburu-buru. Padahal diri ini rasanya masih terlalu miskin melakukan ibadah di bulan yang selalu lama ditunggu datangnya. Baru kemarin rasanya saya memposting tulisan menyambut bulan suci ini, sekarang ia sudah akan pergi.

Kalau bukan Ramadhan, bulan apa lagi yang bisa membuat kesepian saya hilang? Kalau tidak di Ramadhan, di malam bulan mana lagi saya bisa berbaur dengan orang-orang baru yang selalu menjadi keluarga? Jika bukan Ramadhan, bulan mana lagi yang  dapat menjamin kebahagiaan dan mengobati kesepian yang saya rasakan?


***






Saya ingin bercerita sedikit tentang kegiatan Ramadhan di kampung halaman bagi para sahabat. Sama dengan kegiatan di masjid agung kota-kota besar seperti salah satunya Malang, masjid agung di Banyuwangi juga mempunyai gawe akbar di malam spesial Ramadhan. Malam-malam itu adalah malam likuran, 21, 23, 25, 27 dan 29. Di kota saya, kegiatan tersebut dimulai pukul 11 dengan awalan pembacaan istighosah. Atmosfer kuat khas NU di sini selalu menjadi alasan mengapa saya selalu mengagumi dan merindukan MAB Banyuwangi. Selain istighosah, kegiatan rutin yang tidak membuat masjid mati adalah pembacaan sholawat ala-ala manaqib qubro. Kegiatan inti dari malam likuran di masjid agung adalah sholat tasbih berjamaah dan ditutup dengan pemberian siraman rohani oleh  Kyai maupun Habib jempolan.

Kyai maupun Habib yang berkesempatan hadir berurutan mulai malam ke 21 adalah KH. Muhsin Salafiah Sukorojo, KH. Abdul Hamid Hasbullah, KH. Ahmad Rifa’i, KH. Dr. Abdullah Samsul Arifin, dan Habib Hasyim bin Abdullah Assegaf. Para nahdliyyin sejati pasti sudah pada tahu bukan?
Ada sesuatu yang beda pada malam ke 27 dan 29. Bupati Abdullah Azwar Anas turut bergabung bersama para jamaah merasakan khidmadnya malam tersebut. “Belum tahu siapa beliau? Selama ini apa yang kalian tonton di tv? Kalau belum tahu, berarti kalian hanya nonton Uttaran ya?” Pada dua malam itu pula saya pertama kali mendapatkan kotakan sahur dari masjid, hasil pemberian pak bupati.


***


Apa kabar Idul Fitri?

Besok sudah Idul Fitri. Kembali, Tahun ini rencana saya telah berubah. Besok saya akan menikmati hari kemenangan itu seorang diri di rumah. Mas berhari raya di kampungnya, mbak harus kerja, dan mbah berlebaran bersama keluarga bu lek di rumahnya. Saya yang harus menjemput mbak yang akan lembur mulai malam takbir hingga pukul 8 pagi, mengambil keputusan untuk tidak berlebaran bersama bu lek dan keluarga. Pasti besok suasana setelah sholat id akan lebih ngenes daripada tahun sebelumnya. Saya sudah terbiasa. Lagi pula apa artinya hari raya tanpa bisa sungkem kepada kedua orang tua. Alhamdulillah saya berhasil menjaga komitmen untuk tidak absen saat puasa dan ibadah lainnya. Modal itu sudah cukup untuk penghibur diri ketika lebaran saya sepi. Hari raya hanya untuk mereka yang menjaga puasanya, kan? Dan... alhamdulillah Allah membisakan saya. Sudah cukup. Menangis sepulang sholat id kan sudah menjadi rutinitas orang seperti saya. Menutup pintu hingga selesai menjemput mbak pulang kerja mungkin akan memuaskan nostalgia saya akan kenangan masa lalu.

Sudahlah. Saya memang kurang suka dengan momentum hari raya selama 16 tahun belakangan ini. Terlepas dari ketidaksukaan saya dengan hawa magis Idul Fitri, saya pribadi mewakili seluruh keluarga saya ingin memohon maaf kepada semuanya. Maafkan atas kesalahan tak terhingga yang telah saya tebarkan. Semoga Ramadhan meninggalkan kita dengan membawa seluruh dosa yang pernah kita lakukan. Semoga seluruh ibadah yang kita lakukan diterima olehNya dan memperoleh apa yang telah Allah janjikan sesuai dengan kehendakNya.


Selamat tinggal wahai Ramadhan, selamat datang Idul Fitri.

Ja’alanallah minal ‘aidin wal faizin wal maqbulin kulla ‘amin wa antum bi khoir, M. Hidayat Dwi Oktara dan keluarga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Sombong, Rendah Hati, Jujur, dan Munafik

Bosan Sendiri

SAYA TELAH TERBIASA