Nyaman dan kece bukan berarti harus mahal, kan?

Kemarin saya mendengarkan cerita tentang bagaimana salah satu saudara saya yang ada di kota S menyikapi gaya hidup. Dari kalimat panjang kali lebar yang ia ungkapkan, saya menangkap hal menarik seperti berikut.

...Tara, mas iku nggawe opo-opo iku gak gelem lek gak ono merk'e. Lebaran ae tuku celono lek gak merk (sensor) iku yo moh. Wingi ae oleh sing rego 500 ewu. Mbak yo iyo seh, lha piye maneh lek barang larang iku kualitase apik. Maneh lek digawe iku koyok lebih pd terus kesane mewah ngono...

...Lek barang teko pasar iku gak awet Tar. Kaine roto-roto panas, nggawe gatel ndek awak, opo maneh ndek daerahe mbak panas...
 
...Begini loh Tar, urip iki sing penting gaya disek ben lek didelok tonggo, wong tuo, atau wong liyo iki awak dewe ora ketok susah. Ben wong liyo ndelok iki duwe kesan lek awake iki wes enak, opo maneh wong rantau koyo mbak ngene. Urusan mangan opo ndek omah yo dipikir mburi. Urusan ndek omah arep ngenes yo dipikir dewe, ojo sampek wong liyo ngerti...
 
Salah satu diantara kalian ada yang memiliki pandangan seperti itu, tidak? Atau lebih high class lagi?
 
Kalau saya sih tidak sepakat dengan pandangan hidup demikian.
 
Pertama dan kedua adalah masalah merk pakaian, harga dan kenyamanan pakai. Saya memang tergolong orang yang awam terhadap merk pakaian. Merk yang saya tahu hanya itu-itu saja, yang itu-itu pun dari radio, televisi, atau kata teman-teman di kampus dulu. Saya bego masalah merk anu dan anu. Memang benar, semakin bermerk, semakin mahal, kualitas sebuah pakaian semakin tinggi. Tapi, untuk kesan mewah atau lebih pd tidak sepenuhnya tepat. Kata saya, ntah pakaian berharga 20 ribu atau berapapun akan tetap terasa nyaman dipakai, tergantung pemakainya, mau membuat nyaman atau tidak, pd atau tidak.
Saya memang belum pernah membeli celana merk berharga 500 ribu atau lebih, tapi saya sudah pernah meminjam milik mas ipar. Biasa aja. Tidak ada bedanya dengan celana-celana jeans kisaran 100 ribuan yang saya punya. Bedanya hanya luntur ketika dicuci atau tidak. Masalah nyaman dan pd sama sekali tidak ada hubungannya. Saya tetap nyaman kok, tetap pd kok tanpa harus memakai celana berharha 500 ribu.
 
Saya sering belanja pakaian di pasar. Selain dapat melatih hubungan saya dengan sesama, melatih komunikasi dengan orang lain, saya juga bisa mendapatkan harga sesuai kemampuan dari hasil tawar menawar dengan pedagang. Gatal? Tidak sama sekali. Saya dari dulu menerapkan prinsip selalu mencuci pakaian terlebih dahulu setelah dibeli, ntah itu dari mall atau pasar tradisional. Berbahan panas? Maka dari itu, saya berkunjung ke pasar untuk berlatih cerdas. Menemukan pakaian yang nyaman dipakai, tidak panas, tapi tetap dengan harga yang sesuai dengan kemampuan.
Ini buktinya.

Pasca lebaran kemarin, saya membeli pakaian dengan harga terjangkau dan tentunya sangat nyaman dipakai, pd apa lagi. Saya tidak perlu merogoh kocek hingga 500 ribu untuk sekadar mendapatkan celana merk. Saya hanya mengeluarkan lembaran rupiah kurang dari 150 ribu untuk mendapatkan satu kaos, celana pendek, boxer, dan tentunya celana Manchester City. 16 ribu uang kembalian yang saya terima dari 150 ribu yang saya keluarkan. Apakah tidak panas? Tidak nyaman? Tidak PD? Bahan yang saya dapatkan sangat nyaman dan tidak panas. Kaos tersebut sangat nyaman, apalagi dipakai di daerah panas seperti Ngawi saat ini. Saya sangat pd memakainya, terlebih kolor futsal Manchester City. Kakak bilang kalau saya terlihat keren memakai barang pasar tersebut.
 
Pada dasarnya, semua pakaian itu mempunyai merk. Merk itu kan tanda dari mana dan siapa pakaian itu dibuat. Yang membedakan itu merk terkenal atau tidak, merk mainstream atau tidak. Bagi saya, kece atau tidaknya penampilan seseorang itu bukan dikarenakan mahal atau tidaknya pakaian yang ia kenakan. Keren atau mewahnya sebuah pakaian kan tergantung siapa yang memakai? Bukankah setiap orang memiliki karisma masing-masing? Jadi sebenarnya bukan pakaian yang menentukan sesorang terlihat luar biasa, tetapi siapa orang yang memakainya. Merk tidaklah penting karena ia tidak masuk dalam kategori kebutuhan pokok. Bukan merk yang jadi kebutuhan primer manusia, tetapi pakaiannya. Merk tidak akan mengubah daya karismatik seseorang. Jangan sampai gagal fokus. Orang utan yang diberi pakaian bermerk pun tidak akan berubah menjadi sosok pangeran tampan, tidak mungkin. Ia tetaplah orang utan.
 
Ketiga tentang prioritas gaya yang mengabaikan kondisi hidup sebenarnya. Saya tidak setuju dengan prinsip mengedepankan gaya. Gaya harus sesuai dengan keadaan sebenarnya, bahkan kalau bisa gaya harus di bawah keadaan nyata. Dari sisi sosiologis maupun psikologis, hidup manusia tidak bisa disepadankan dengan hukum fisika yang berbunyi "tekanan berbanding lurus dengan gaya". Bagaimanapun keadaannya, kalau ditekan untuk bergaya, tidak perlu lah untuk mengikutinya. Gaya memang penting, tetapi bukan gaya yang dibuat-buat. Gaya tidak dibuat untuk gaya-gayaan. Memang setiap orang memiliki selera gaya masing-masing, but tetap harus melihat bagaimana keadaan hidup. Untuk apa bergaya seperti orang kaya jika keadaan sebenarnya tidak demikian? Hanya untuk menyenangkan mata orang lain? Lalu kapan kita senangnya? Apakah dengan gaya saja kita akan senang, sedangkan keadaan sebenarnya kita memiliki setumpuk cicilan? Bergayalah sewajarnya saja, tidak perlu memaksakan. Lebih baik bergaya biasa saja, yang penting uang melimpah. Lebih baik bergaya biasa saja agar kita tidak menjadi manusia yang penuh dusta. Daripada uang kita hamburkan untuk mendukung gaya, lebih baik untuk mencukupi kebutuhan utama saja.
 
Saya hingga sekarang masih kagum dengan cara saudara-saudara keturunan Cina dalam bergaya. Mereka tidak neko-neko dalam berpenampilan, sederhana namun memiliki banyak uang. Kok tahu? Saya pernah tahu orang Cina berbelanja. Ada laki-laki keturunan Cina yang hanya berkaos oblong, bercelana pendek dan memakai sandal jepit swallow masuk ke super market. Gayanya sederhana sekali. Mungkin orang mengira ia tidak punya apa-apa, tapi ketika membayar totalan di kasir ia memiliki banyak sekali rupiah di dompetnya. Saya mengagumi orang-orang seperti itu.

Pada kesimpulannya, tulisan saya ini tidak bermaksud untuk ngajak gelut mereka yang mengedepankan merk dan gaya dalam hidupnya. Ibarat merk dan gaya itu makanan mahal seperti stik atau pizza, biarkanlah saya menikmati nasi kecap dan krupuk dari warung sebelah. Setiap orang memiliki kadar masing-masing. Ini prinsip hidup saya. Terus jalankan apa yang menjadi prinsip Anda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Sombong, Rendah Hati, Jujur, dan Munafik

Bosan Sendiri

SAYA TELAH TERBIASA