Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2016

Bosan Sendiri

Gambar
Sudah beberapa hari ini saya berada di Sukowidi. Selain ingin merasakan hawa Ramadhan di kampung kecil, saya juga rindu dengan tradisi likuran di M.A Baiturrahman. Sejak berada di sini, saya sering sendiri di rumah. Kakek yang masih dirawat untuk pemulihan di Wongsorejo hingga waktu yang tidak ditentukan membuat saya harus menikmati suara suling buko seorang diri. Suami mbak selalu pulang ke rumah diatas pukul 10 malam. Mbak sendiri kerja. Kadang kerja ke Jajag, kadang juga menjaga loket ASDP seperti hari ini. Kalau sudah kerja, mbak juga pulang malam. Andai saja si beat selalu ada di sini seperti dulu, pasti saya tidak akan absen di majelis ngerandu buko nya MAB. Jujur, saya bosan. Di rumah bu lek saya tidak bisa ke mana-mana, di sini bisa tapi tidak bisa jauh dan berlama-lama. Saya hanya bisa menikmati kesenangan saat malam ganjil tiba. Sama seperti beberapa hari yang lalu, hari ini saya kembali harus menyiapkan menu berbuka sendiri. Pengalaman menamatkan status me

BEKERJA ATAU PUNYA UANG?

Sebentar lagi 10 hari kedua di bulan mulia akan meninggalkan kita semua. Mungkin, tidak lama lagi kemajuan jamaah di masjid-masjid akan terlihat, yaitu semakin maju shafnya . Semoga saja Ramadhan tahun ini akan ada perubahan perilaku dan kebiasaan dari saudara-saudara saya. Sebetulnya belum afdol membicarakan Idul Fitri sebelum masa-masa mepet nya tiba. Tak apalah, tulisan ini tidak akan membahas bagaimana seluk beluk hari besar yang memang selalu menjadi buah bibir masyarakat dunia, bahkan ketika Sya’ban masih menjalani masanya. Menurut saya, semakin ke sini hari raya ‘Aidil Fitri semakin kehilangan ruh nya. Dulu, hari kemenangan tersebut sangat kental dengan aura kuat kemenangannya. Dari hari pertama hingga minimal Haplus Tujuh, tradisi bersilaturahim dulur-dulur terus terselenggara. Rumah-rumah seolah tidak pernah menutup mulutnya untuk menyambut tamu yang hendak mampir untuk saling meminta maaf atau sekadar mencicipi kripik mlinjo lengkap dengan sirup marjannya. La

URGENSI SHOLAT

Kembali, saya tidak bermaksud mengundang kata sok dalam tulisan ini. Sebaik-baiknya perkara di Bulan Ramadhan adalah mengisi tiap detiknya dengan kebaikan. Melalui tulisan ini saya akan menambah koleksi yang menurut saya baik dan semoga bagi njenengan semua yang sempat membaca ini juga berasumsi sama. Tidak akan muncul sebuah akibat jika tidak didahului oleh sebab. Tidak akan ada reaksi jika sebelumnya tidak diawali oleh aksi dan ekspresi. Begitu juga dalam tulisan ini. Sebenarnya tema tentang hal tersebut sudah terlalu banyak dijelaskan di berbagai media, terutama buku-buku yang bernafaskan Islami lengkap disertai ayat-ayat maupun hadist yang menguatkannya. Karena keterbatasan saya, tulisan ini hanya akan mengulas secara dangkal akan pentingnya sholat bagi saya pribadi maupun saudara-saudara se_Iman. Sebab saya menulis hal ini adalah adanya ungkapan sebagai berikut. Sholat iku urusane dewe-dewe, menungso ambi Pengerane. Ora perlu ngurusi wong sing sholat utowo ora

Antara Sombong, Rendah Hati, Jujur, dan Munafik

Suatu pernyataan Pak Kyai beberapa bulan yang lalu masih menggelitik fikiran saya. Tidak afdol rasanya jika apa yang beliau sampaikan tidak terekam di ingatan, minimal di kumpulan sampah-sampah pribadi saya ini. Hakikat pengamalan sombong, rendah hati, jujur, dan munafik. Mirip pelajaran PPKn zaman seusia saya SD ya? Atau mapel PAI? Yang membedakan, di sini adalah istilah hakikat . Sebagai manusia yang hanya satu kali diberikan kesempatan hidup di dunia, tentu kita secara awam ataupun profesional akan memilih dua diantara empat sifaat yang tertera. Coba angkat tangan, siapa yang lebih memilih sifat sombong dan munafik? Dalam pengertian sehari-hari atau bahkan otak kita disusupi dengan pengertian mati setiap hari, empat sifat tersebut secara dasar didefinisikan sebagai berikut. -            Sombong, adalah sifat tinggi hati dengan ciri suka memamerkan apa yang ia punya kepada orang lain. Sombong juga berarti sifat merasa mampu dalam segala hal sehingga ada as