Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Berbeda

Gambar
Kemarin saya mendapatkan sesuatu yang kurang menyenangkan terkait dengan penyamarataan sebuah institusi perkuliahan oleh oknum tertentu. Oknum tersebut menilai bahwa almamater tidaklah penting dan berpengaruh terhadap status seorang mahasiswa. Semua kampus sama, tergantung kepada bagaimana mahasiswa masing-masing. Ia juga mengatakan bahwa kesuksesan itu tentang bagaimana seseorang yang menjalani, bukan pada almamater apa yang ia gunakan. Sejujurnya saya mengatakan bahwa pernyataan tersebut salah besar dan dapat memicu sebuah keperihan bagi yang mendengarnya.   Oknum yang saya hormati.   Pertama-tama marilah kita melihat status kita. Apakah Anda termasuk barisan sakit hati masa lalu, atau tidak? Apakah Anda pernah merasakan kecewa atas kegagalan apa tidak?   Begini. Bagi saya, almamater, kualifikasi tenaga pendidik, hingga akreditasi institusi sebuah kampus itu sangatlah penting. Kita? Kita siapa? Mahasiswa masing-masing? Anda tidak bisa bicara seenaknya. Kualitas individu itu

Kita Sudah Merdeka

Beberapa waktu yang lalu saya kembali melakukan tanya jawab dengan seseorang tentang apa itu arti merdeka. Saya sendiri termasuk orang yang selalu melabelkan kata merdeka, terutama ketika momen Agustusan seperti bulan ini. Seperti biasa, selalu ada orang yang panas kupingnya   mendengar ataupun membaca kata-kata merdeka dari saya. Ia melontarkan pertanyaan yang memang masuk akal, menjebak, dan rumit.   "Merdeka? Memangnya Indonesia sudah merdeka? Kemiskinan masih merajalela, korupsi masih menjamur, jual beli jabatan semakin masif, pendidikan semakin terbengkalai, banyak masyarakat kelaparan dan sulit mendapat layanan kesehatan, kamu bilang Indonesia sudah merdeka? Merdeka? Siapa yang merdeka, sedangkan kemarin ada rakyat yang menikmati kemerdekaan dengan menangis pasca TNI menyerang kampung mereka? Apakah itu merdeka?"   Saya tidak bermaksud untuk sok  nasionalis atau hal-hal musiman lainnya. Saya tidak bermaksud untuk membela diri. Ini negara saya juga. Negara yang be

De Jure Kemerdekaan Republik Indonesia

Gambar
18 Agustus, merupakan hari yang sangat menentukan arah keberlangsungan komitmen pengukuhan Kemerdekaan Indonesia. 71 tahun yang lalu, tanpa adanya 18 Agustus mungkin Teks Proklamasi yang telah didengungkan oleh Bapak Ir. Soekarno ke seantero negeri tidak akan memiliki arti. Hari ini. Pengakuan secara De Jure   Kemerdekaan Negara Republik Indonesia telah terjadi. Secara hukum Indonesia telah diakui kedaulatannya dengan dipilihnya UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara dengan dasar falsafah Pancasilanya. Pekerjaan rumah negara dan bangsa ini masih banyak. Negara tercinta belum sepenuhnya merdeka, terutama oleh belenggu bangsa sendiri.   Dari sisi konstitutional misalnya. Kita masih sering menjadi korban undang-undang dan berbagai kebijakan yang saling bertentangan maupun tumpang tindih dengan konstitusi dasar, terutama ruh luhur Pancasila. Masih banyak produk hukum negara ini yang belum sepenuhnya mengena kepada cita-cita luhur bangsa. Pun dengan kebijakan-kebijakan yang dinilai bel

Gloria Natrapaja Hamel

Gambar
Adalah Gloria Natrapaja Hamel. Ia merupakan gadis manis generasi muda emas Indonesia yang telah menjadi korban program nggak   penting dari Duta Belia yang selalu digagas oleh pemerintah. Apa lagi dosa yang kau buat wahai pemerintah? Saya pribadi menilai bahwa masalah yang menjadi buah bibir masyarakat tersebut merupakan hal yang tidak semestinya terjadi. Melalui tulisan ini, saya ingin marah. Beginikah perlakuan negara atas salah satu putri terbaik bangsa yang masih peduli dengan kadar nasionalismenya? Hanya karena urusan tetek bengek  yang tidak pentingkah negara ini harus mengubur impian besar seorang Gloria? Indonesia bukanlah bocah ingusan   lagi. Indonesia sudah mulai dewasa. Tidak semestinya keputusan kekanak-kanakan harus keluar kembali, apalagi dalam urusan yang sangat serius ini. Indonesia sudah berumur 71 tahun. Angka yang seharusnya semakin mendewasakan rakyat, negara, maupun pemerintahnya. Pemerintah kita masih seperti segerombolan anak bandulan y

Nyaman dan kece bukan berarti harus mahal, kan?

Gambar
Kemarin saya mendengarkan cerita tentang bagaimana salah satu saudara saya yang ada di kota S menyikapi gaya hidup. Dari kalimat panjang kali lebar yang ia ungkapkan, saya menangkap hal menarik seperti berikut. ...Tara, mas iku nggawe opo-opo iku gak gelem lek gak ono merk'e. Lebaran ae tuku celono lek gak merk (sensor) iku yo moh. Wingi ae oleh sing rego 500 ewu. Mbak yo iyo seh, lha piye maneh lek barang larang iku kualitase apik. Maneh lek digawe iku koyok lebih pd terus kesane mewah ngono... ...Lek barang teko pasar iku gak awet Tar. Kaine roto-roto panas, nggawe gatel ndek awak, opo maneh ndek daerahe mbak panas...   ...Begini loh Tar, urip iki sing penting gaya disek ben lek didelok tonggo, wong tuo, atau wong liyo iki awak dewe ora ketok susah. Ben wong liyo ndelok iki duwe kesan lek awake iki wes enak, opo maneh wong rantau koyo mbak ngene. Urusan mangan opo ndek omah yo dipikir mburi. Urusan ndek omah arep ngenes yo dipikir dewe, ojo sampek wong liyo ngerti...   S

Belajar Religiusitas Masyarakat Hindu Bali

Gambar
Hari raya yang sangat garing tahun ini membuat saya memutuskan untuk ikut keluarga mas mengunjungi keluarga di Pulau Dewata. Kira-kira sudah 2 atau 3 tahunan saya sudah tidak pernah ikut mas ke keluarga Guris. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, mbak tahun ini tidak bisa ikut karena lagi-lagi harus terusak oleh jadwal kerja. Selain bertemu keluarga di sana, penat saya juga terobati dengan hiburan jalan-jalan yang memang tahun ini sudah direncanakan oleh mas sekeluarga. Hangatnya pancuran Banyu Wedang, eksotisnya pemandian air panas di bawah kaki Gunung Batur, terbentang indahnya danau-danau di sepanjang jalur menuju bedugul, menakjubkannya tatanan rumah-rumah adat Bali di Panglipuran, hingga ramahnya hawa malam Sanur sudah cukup untuk mengobati kengenesan lebaran tahun ini. Pada perjalanan tahun ini, saya kembali memperoleh pelajaran berharga. Kali ini berasal dari Bapak Muridi, orang tua mas. Pengetahuan baru tidak sengaja saya peroleh ketika perjalanan pulang melewati

Jomblo?

Mungkin bacaan ini adalah salah satu tulisan bertema jomblo yang ditulis oleh orang yang tidak jomblo, tetapi percayalah bahwa penulis juga pernah merasakan jomblo meskipun tidak akut. Saya ingin mengungkapkan beberapa hal karena kebisingan dan kebosanan saya memperhatikan lalu lintas para oknum yang seolah bangga atas kejombloannya. Bukan karena tidak suka karena saya tidak jomblo, saya hanya sedikit risih dengan virus gerakan pelestarian jomblo yang semakin menjadi seperti mulai mewabahnya endemi Pokemon Go. Begini para jomblowan yang mulia, tolong diperhatikan. Kaping pisan , Anda yang mengaku dan seolah bangga atas status jomblo itu tidak keren sama sekali. Bukan berarti saya mewajibkan Anda untuk pacaran, tidak. Jomblo tidak perlu alay seperti anak SMA yang baru jadian sama si doi, ya seperti alaynya saya waktu itu. Kalau Anda alay saat ini, sungguh terlambat. Jomblo ya jomblo saja, diam dan jalani aktivitas seperti orang normal umumnya. Jomblo tidak perlu pamer. Ka