Belajar Religiusitas Masyarakat Hindu Bali




Hari raya yang sangat garing tahun ini membuat saya memutuskan untuk ikut keluarga mas mengunjungi keluarga di Pulau Dewata. Kira-kira sudah 2 atau 3 tahunan saya sudah tidak pernah ikut mas ke keluarga Guris. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, mbak tahun ini tidak bisa ikut karena lagi-lagi harus terusak oleh jadwal kerja.
Selain bertemu keluarga di sana, penat saya juga terobati dengan hiburan jalan-jalan yang memang tahun ini sudah direncanakan oleh mas sekeluarga. Hangatnya pancuran Banyu Wedang, eksotisnya pemandian air panas di bawah kaki Gunung Batur, terbentang indahnya danau-danau di sepanjang jalur menuju bedugul, menakjubkannya tatanan rumah-rumah adat Bali di Panglipuran, hingga ramahnya hawa malam Sanur sudah cukup untuk mengobati kengenesan lebaran tahun ini.
Pada perjalanan tahun ini, saya kembali memperoleh pelajaran berharga. Kali ini berasal dari Bapak Muridi, orang tua mas. Pengetahuan baru tidak sengaja saya peroleh ketika perjalanan pulang melewati kampung-kampung khas Bali. Saya tidak menyia-nyiakan waktu untuk bertanya kepada bapak yang memang sudah notabenenya lahir dan berKTP Bali, mulai dari posisi status marga dalam penamaan orang Bali, cara beribadah, dan lain-lainnya. Satu penjelasan bapak yang membuat saya tiba-tiba terdiam.
Tara, wong Bali iki lek masalah ibadah iku ora pernah tanggung-tanggung, total. Wong Bali iku ngekekno opo ae sing diduweni pokok digawe kepentingan sembahyang. Awakmu ngerti le, wong Bali iku tiap hari minimal sembahyang ping telu yaiku isuk kira-kira jam 6, terus awan, terakhir sore. Katakanlah ping pindo wes. Tiap sembahyang iku gak sitik bondone, minimal entek 10 ewu digawe tuku menyan, janur sak kabehane. Iku tiap harine, durung pas enek upacara-upacara gedi koyoto Melasti, upacara wesi koyo saiki, Galungan, Kuningan lan liyane. Akeh banget upacarane wong Bali sing iku ngentekno bondo ora sitik. Deloken tiap omah sing awak dewe lewati, mesti ono tempat sembahyang to. Iku ibarate koyok langgare wong Bali. Sing model biasa ae larang, opo maneh sing sampek model koyok Pura ngono wes piro. Iku ae wonge biasa-biasa ae. Merasa memang iku wes kewajiban digawe wonge kanggo ngakoni onone Sang Hyang Widi. Bandingno ambi wong Islam le. Wong Islam ae sing ibadahe gratisan kadang sik akeh sing ora gelem nglakoni. Iso mbangun langgar cilik-cilikan ae omongane wes gaduk nong ndi-ndi. Ngono yo sek akeh sing alirane keras. Prinsipe Bali iku apik le, kerukunan nomor siji. Bapak sek cilik omahe ndek Denpasar cedeke pondokan NU gede sing Kyaine teko Tebu Ireng le. Iku dihormati ambi pecalang-pecalang, ambi wong Bali ndek sekitare. Ndek kene iki, tiap ono Jum'atan mesti sing njogo kendaraane jamaah iku pecalang ambi remaja-remaja Bali. Iku ae padahal tiap ono upacara adat, wong Islam kene jarang nulung-nulungi.....
...Patung-patung simbol sing ono ndek tiap tempat iku asline ora ono Tar. Intine wong Hindu kene percoyo ambi Sing Kuoso, yo Sang Hyang Widi Wasa iku. Imane wong kene kuat, mangkane ndek Bali aman, sepedah motor nggletak ndek ngarep omah yo ora ono sing gelem nyolong, dalan sepi yo ora ono begal. Kabeh yakin lek Dewa ngatekne opo ae sing dilakoni...
Kata-kata yang terlontar oleh Bapak benar-benar membuat saya kagum. Mungkin hal tersebut adalah barang baru bagi saya. Bagaimanapun saya kagum dan bangga dengan masyarakat Dewata di Bali. Saya sendiri telah membuktikan apa yang bapak bicarakan. Memang benar, mereka tidak perhitungan dalam melakukan sembahyang setiap harinya. Semua berjalan dengan normal seolah tidak ada apa-apa walaupun mungkin sebenarnya ada golongan yang memiliki ekonomi sukar.
Belajar memaknai religiusitas dari masyarakat Hindu di Bali.
Saya memetik pelajaran tentang kecenya cara masyarakat Hindu Bali dalam bereligius. Prinsip tidak itung-itungan dalam beribadah memang seharusnya melekat pada diri setiap manusia bertuhan. Saya sendiri malu. Kadang saya masih selalu suka itung-itungan dalam beribadah. Saya kadang khilaf sehingga meninggalkan suatu keharusan yang memang menjadi tugas. Misalnya sholat. Sholat itu gratis, tidak ada tarikan biaya sepeserpun. Tapi kadang yang gratisan malah diabaikan. Sering sekali yang gratisan dinomorsekiankan, disepelekan, bahkan ditinggalkan. Saya berfikir, bagaimana seandainya tiap rokaatnya bertarif misal seribu rupiah? Ah, mungkin masjid-masjid semakin sepi. Mungkin ruangan-ruangan tempat sholat diubah menjadi galeri seni. Sholat itu gratis, tapi mengapa ya kegratisannya masih kalah dengan kekuatan magnet ladam paket sembako gratis bulan puasa?
Saya salut dengan keteguhan maupun keyakinan kuat masyarakat Hindu di Bali akan adanya Sang Pencipta. Hal tersebut menjadi modal yang sangat berharga bagi masyarakat dalam menjaga kondisi Bali tetap kondusif. Benar. Saya pernah melintasi jalanan mulus sepanjang hutan dari Gilimanuk, Hutan di daerah Menjangan, hingga masuk Guris pada malam hari. Saya tidak merasa takut sama sekali meskipun jalanan sangat sepi. Beda cerita ketika saya melintasi jalanan besar Grati atau Tongas. Pukul 8 pagi saja saya sudah was-was dengan ancaman begal.
Masyarakat Bali sangat luhur. Kecintaan dan kepatuhan mereka kepada Sang Hyang Widi telah membuat sikap mereka penuh toleran dan kaya dengan empati. Bali jarang terjadi chaos. Masalah gelut akbar kemarin? Itu beda konteks bro. Masyarakat Bali sangat percaya bahwa setiap tindakan buruk mereka akan berdampak tidak baik untuk mereka sendiri. Mereka percaya dengan campur tangan Tuhan atau Dewa yang selalu mengawasi setiap gelagat individu Bali. Saudara-saudara saya juga tidak kalah beda. Sayangnya, masih banyak mereka yang mengaku muslim tapi intoleran dan antipati kepada sesamanya. Buktinya, teror bom yang menyerang Bali didalangi oleh saudara saya beragama muslim. Begal bengal di daerah Probolinggo atau Pasuruan? Jelas bukan non muslim bukan kalau daerahnya sudah di cap sebagai kota santri. Penjambretan kemarin di Banyuwangi dan Situbondo? Pelakunya berKTP Islam.
Tidak ada sedikitpun niat saya untuk menjelekkan agama saya sendiri. Saya pun dengan lantang mengatakan SAYA MUSLIM, SAYA BUKAN TERORIS ATAU KRIMINALIS. ISLAM BUKANLAH SARANG BAGI PARA UMAT YANG BUTA DALAM MEMAKNAI KATA JIHADIS. Sebagai manusia, saya tidak ingin buta dan menutup diri. Saya mengagumi bagaimana masyarakat Hindu di Bali menjalankan keyakinan mereka. Bukan berarti saya ingin berpindah untuk menganut kepercayaan mereka, tidak. Sudah saatnya saya harus mengoreksi atas kekurangan diri dalam menjalankan perintah agama. Saya sangat malu jika kalah dengan mereka. Malu karena sejatinya saya lebih meyakini keberadaan Tuhan saya dan memilih jalan yang telah dianggap benar oleh seluruh umat terakhir Rasul kita.
Pada akhirnya, saya kembali takjub dengan apa yang telah terfirman olehNya. Segala sesuatu yang ada di muka bumi selalu memiliki arti, termasuk tradisi beribadah oleh umat Hindu di Bali. Sungguh luas ilmu yang Ia cipratkan ke seluruh penjuru dunia ini. Terima kasih tak terhingga karena telah memberi kesempatan kepada saya untuk kembali belajar memaknai semuanya.
Ini adalah masjid yang berdiri di Guris. Suasana nyaman dan penuh toleran yang saya rasakan di sana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Sombong, Rendah Hati, Jujur, dan Munafik

Bosan Sendiri

SAYA TELAH TERBIASA