Lieur



"Mas, boleh tanya sesuatu?"
"Boleh, silahkan"
"Aku masih penasaran nih mas, ingin tanya kenapa kok sampean lebih milih jalur pacaran. Sedangkan mas sendiri tahu kalau pacaran itu tidak ada dalam ajaran agama kita. Apa mas tidak berkhianat dengan apa yang mas lakukan?"
"Waduh. Berat pertanyaanmu nduk. Jadi begini, aku mau tanya dulu. Sampean setuju nggak dengan namanya pacaran?"
"Ya jelas nggak mas. Pacaran kan lebih dekat dengan zina. Aku lebih menerima konsep ta'aruf yang jelas sudah ada di agama kita"
"Bagus!"
"Lalu kenapa mas sendiri pacaran?"
"Karena aku ganteng, kalau aku jelek pasti membuka forum jomblo seperti temen-temenmu itu nduk. hehehe. Mas bercanda."
"Ini menghina aku atau gimana mas? Serius mas, aku mau tahu alasanmu"
"Ya nggak lah, adek itu loh ayu. Begini, istilah pacaran itu tidak secara gamblang tertulis di ayat. Otomatis istilah itu bid'ah kan, sama seperti istilah celana pensil, hem, kopyah motif, pasmina, rok kotak-kotak, dan lainnya. Kira-kira, kalau dengan kebid'ahan itu kita bisa mengambil sikap untuk memperoleh manfaat dari itu, apakah betul-betul dilarang? Apakah berdampak dosa? Bagaimana dengan manaqiban, tahlilan, atau khataman? Bukankah itu bid'ah tapi manfaat?"
"Hehehe..siapa dulu....Iya sih, tapi kan ini pacaran yang jelas-jelas mendekatkan kita pada zina mas."
"Kamu korban film nduk, akut yang udah nyerang kamu. hehe. Kata siapa pacaran selalu berdampak pada zina? Apa to pemahaman kamu tentang zina? Apakah dengan kamu ta'arufan, kamu akan terbebas dari zina?"
"Tapi kan ta'aruf sudah ada aturan jelas mas, jadi ada jaminan kita terbebas dari hal yang nggak baik. Lagi pula, pacaran kan tidak ada tuntutannya dari Rasulullah."
"Itu kan normatifnya, lalu bagaimana bagi yang menjalaninya? Ada jaminankah orang Arab yang notabenenya dianggap baik, tidak memperkosa kaum hawa di sana? Tidak bukan? Semua tergantung kepada siapa yang menjalani. Kalau pacaran dibalut dengan muatan-muatan positif, apakah ia bisa kotor? Kalau ta'aruf, tapi hati selalu membayangkan sesuatu yang belum waktunya, apakah ia bisa terbebas dari zina. Berarti aku harus tinggalkan hobi futsal karena Rasulku nggak pernah nyewa lapangan futsal dek?"
"Kalau ta'aruf, bukankah setiap pertemuan pasangan, selalu diikuti dan disaksikan oleh mahramnya mas? Jadi jelas terjaga kan?"
"Apakah pacaran tidak bisa seperti itu? Bisa juga bukan? Kamu tertular penyakit kemasan nduk. Pacaran dan ta'aruf itu sebenarnya dua istilah yang intinya bisa sama jika disepadankan. Pacaran bisa berdampak baik atau sebaliknya, begitu juga dengan ta'aruf. Keduanya kan pada hakikatnya dua proses pendekatan untuk menuju suatu hal yang lebih serius? Pacaran itu istilah lokal dan ta'aruf itu istilah kitab, sama seperti terima kasihnya orang Indonesia dan syukronnya orang Arab, kan?"
"......terus mas sendiri dapat manfaat apa dari pacaran?"
"Wah, lumayan banyak. Karena pacar, kontekstual skripsiku bisa terkoreksi dengan benar. Salah satunya karena pacar, aku semangat sebelum menghadapi dosen waktu sidang skripsi. Karena pacar, aku diajarkan juga diberi tahu idiom dan EYD terbaru. Karena pacar, hidupku yang pas-pasan waktu ngekos dulu bisa terbantu. Karena pacar, tiap sakit dan tidak punya uang, aku bisa sembuh. Karena pacar, aku bisa menemukan keluarga baru. Karena pacar, pengetahuanku bertambah dan lebih luas. Pacar juga sering menjadi tempatku curhat waktu keluargaku lagi semerawut.  Masih banyak lagi nduk."
"Bukankah itu juga bisa didapatkan dari teman atau sahabat mas, kenapa harus pacar?"
"Betul sekali. Kamu normal? Pernah tertarik dengan lelaki? Pernah merasakan perbedaan belum antara berhadapan dengan teman, sahabat, atau orang yang kamu kagumi?"
"Aku normal lah mas, aku juga pernah mengagumi lelaki. Tapi aku masih memegang teguh prinsipku. Aku juga pernah merasakan apa yang sampean tanyakan."
"Bagus, lanjutkan prinsipmu. Sekarang berbicara ke konteks manusia normal ya. Pernah sakit hati tidak melihat orang yang kamu kagumi ternyata memilih pacaran dengan orang lain? Pernah menyesal tidak?"
"Pernah mas. Maka dari itu aku semakin kuat dengan prinsipku."
"Nah itu bedanya. Mas nggak bisa melanjutkan karena memang kamu belum pernah merasakan semuanya dengan total. Beda loh  apa yang kita peroleh antara teman, sahabat maupun pacar. Menyesal atau sakit hatimu itu adalah kenyataan yang berusaha kamu bunuh. Adek sama saja membohongi diri sendiri. Hati-hati nggeh, jangan sampai itu semua dibungkus dengan dalil-dalil agama sebagai penutup atas kesakithatian dan kenormalanmu nduk. Aku sangat dukung prinsipmu, tetapi berprinsiplah dengan santai. Pacaran ataupun ta'aruf itu tidaklah menjadi masalah sepanjang kita tidak terlalu egois mempermasalahkannya. Pacaran dinilai negatif karena memang film atau sinetron-sinetron di negara kita seperti itu. Di media massa misalnya, remaja hamil rata-rata diberitakan karena dampak pacaran. Padahal tidak semua berawal dari pacaran kan? Ada yang menjadi korban karena ulah ayah tiri, gerombolan pemabuk, karena nonton begituan, dan lainnya. Pacaran dan ta'aruf ini sama-sama judul kemasan. Bagaimana isi kemasan itu, kan kita yang menentukan."
"Bener juga mas. Lalu, bagi mas sendiri pacaran itu apa? Terus kok sering putus?"
"Sebentar, aku pisahin konteks pacaranku dulu dengan sekarang ya. Kalau yang dulu itu aku sebut monyet-monyetan. Aku jelaskan makna seperti sekarang ya. Pacaran itu masa yang harus dilalui sebelum kita benar-benar ingin serius membangun masa depan dengan orang yang tepat. Hakikatnya sama dengan ta'aruf, pacaran itu mengenal lebih jauh dan mendalam tentang siapa calon kita, bagaimana ia, keluarganya, maupun kehidupan mereka. Pacaran juga menyamakan persepsi dan pandangan bagaimana kedepannya, agar ketika telah halal semuanya tertata dengan baik. Coba kamu liyat bapak dan istrinya itu, dua bayi digendong ibu, sedangkan ibunya masih hamil lagi, suaminya menggendong satu anak dan menggandeng satu anak lagi yang lumayan sudah besar. Mereka berjalan kaki mencari tampungan masjid dari golongannya. Aku yakin mereka tidak pacaran, langsung nikah. Jadi kacau bukan? Kasian nggak liyatnya? Ibadah apa menyalurkan nafsu terpendam puluhan tahun itu? Masalah putus, pacaran itu peluang. Jika kita menemukan orang yang kira-kira cocok untuk menjadi masa depan kita, ya pacari saja biar tidak menyesal kalau kelak ia jadi milik orang. Kalau sudah pacaran, ya sesegera mungkin mengenal dan menyatukan persepsi. Kalau cocok, pertahankan hingga jenjang ijab dan qobul. Kalau tidak cocok, ya bagaimana lagi? Putus menjadi solusi sebelum semua terlambat. Jangankan pacaran, menikah saja bisa cerai to karena tidak cocok? Maka dari itu, sebelum nikah dibuat mainan ya belajar mengenal anak orang sebelum telat."
"Iya loh mas, kok banyak gitu anak mereka. Mas kok enak bilang tinggal pacari? Terus masalah orang yang tepat kan sudah ada yang mengatur."
"Ya enak memang. Mudahnya, kalau suka dan ingin mengenal lebih dalam ya segera disegel. Daripada disegel orang lain duluan? Dosa? Mananya yang dosa kalau penanganan segelnya tepat? Awas jangan berhenti pada pengertian kalau rezeki, jodoh dan mati itu di tangan Tuhan. Mau bukti? Coba kalau berani seminggu lagi adek berdiri di tengah jalan, nunggu truk pertamina lewat dan biarkan tabrak adek. Kalau tidak ada usaha mencari, apakah rezeki akan hadir? Apakah kalau kita tidak memilih dan memilah, apakah jodoh terbaik bisa didapatkan? Memangnya Allah agen penyalur jodoh? Kita memilih dan Allah yang merestui. Allah loh udah ciptakan padi. Kalau bukan kita yang mengolahnya menjadi nasi, apa mau kita makan gabah atau beras? Allah kan bukan tukang liwet dek."
"Iya mas, kalau begitu aku harus benahi diri lebih baik mas. Semoga calon jodohku di sana juga berbenah menjadi lebih baik. Makasih mas atas penjelasannya."
"Njeh sama-sama. Jangan pacaran loh ya. Tapi juga jangan terlalu PD mengikrarkan kejombloanmu ke umum ya nduk, biasa-biasa aja. Kalau terlalu bangga atau membela para jomblo, adek seperti mau pacaran, tapi ini itu. Hehehe."
"Ndak kok mas, aku biasa aja. Mas juga, jangan terlalu PD karena merasa laku dengan berpacaran. Haha."
"Wiihh...ngajak tokar.."
"Ampun mas...hehehe. Disambung lain kali bagi-bagi pandangannya."
"Oke, siap laksanakan!"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Sombong, Rendah Hati, Jujur, dan Munafik

Bosan Sendiri

SAYA TELAH TERBIASA