SAYA TELAH TERBIASA
Hidup mandiri sejak
usia 8 tahun memang begitu menguntungkan bagi diri saya. Di usia tersebut saya
tidak lagi bergantung kepada keputusan orang tua terhadap saya. Saya sudah
terbiasa hidup mandiri dan berani berbicara lantang kepada mereka yang selalu
membanggakan hidup mandiri beberapa tahun di pondok tempat mereka belajar menjadi manusia.
Faktor garis kehidupan
yang telah digoreskan rapi olehNya kepada saya telah membuat semuanya berjalan
baik hingga saat ini. KarenaNya, saya semakin bisa untuk lebih mandiri dan
semakin terbiasa untuk mengambil konklusi atas apa yang terjadi.
Saya sudah sangat
terbiasa akan hal tersebut.
2 tahun sebelum berada
di kelas 5 sekolah dasar 15 tahun yang lalu, saya mengalami paceklik prestasi. Peringkat unggulan
sangat sulit saya raih karena status anak rumahan saat itu berubah menjadi anak
liar yang setiap waktunya diisi dengan bermain. Long life education nya filsafat pendidikan seolah berganti status
menjadi long life playing. Saat
memasuki tahun ke 5 saya sadar dan dipaksa untuk mengambil konklusi bagaimana
saya harus berubah. 2 tahun di sisa jenjang sekolah dasar tersebut, saya
berhasil memperbaiki diri hingga puncaknya pada saat kelulusan saya berhasil
memperoleh predikat tinggi untuk naik di atas panggung kehormatan.
SMP pun begitu.
Kehidupan yang semakin berubah memaksa saya untuk memperkaya stok-stok
kesimpulan pribadi. Masa tersebut mengajarkan kepada saya bahwa perjuangan
melawan keterbatasan tidak pernah sia-sia. Di masa tersebut saya telah
mengalami bagaimana sulitnya menanggung biaya sekolah, mencukupi uang saku
tambahan untuk biaya naik lin, hingga
bersaing untuk mendapatkan keringanan kebutuhan di sekolah. Masa itu, sungguh
luar biasa. Saya berhasil lulus dengan hasil yang cukup membanggakan sebagai
modal mimpi saya untuk melanjutkan ke jenjang SMA (meskipun pada akhirnya kakak
memaksa saya memilih SMK). Masa itu tidak mudah. Saya harus rutin membantu
kakek dan nenek saya membuat batu bata sepulang sekolah, menjadi kuli kecil,
hingga penjual layang-layang. Sore hari sebelum berangkat ngaji dan malam hari sebelum tidur, saya selalu menyempatkan diri
untuk ngeroti pring agar stok
layang-layang untuk dijual esok harinya tercukupi. Masa itu mengajarkan saya
betapa eman dan berharganya duwik sangu jika digunakan hanya sekadar
untuk membeli es dan gorengan di kantin sekolah.
SMA apalagi. 3 tahun di
jenjang itu, saya harus berjuang dan terus dituntut untuk berkonklusi atas
apapun yang saya lakukan. Saya dipaksa untuk menyeimbangkan dua hal berseberangan
yang telah saya pilih. Saya dituntut untuk berjuang agar tidak terjerumus
terlalu dalam atas pilihan 'buruk' masa itu. Ya, hingga akhirnya
kesimpulan-kesimpulan dan aksi selama periode itu berhasil mengantarkan saya
menuju jenjang pendidikan berikutnya. Padahal saya tidak pernah lagi
mengharapkannya.
Masa-masa di perguruan
tinggi semakin membuat saya berkembang. Saya semakin mahir berkonklusi. Selain
karena tuntutan tugas-tugas untuk menamatkan capaian minimal sks, kehidupan di
kota baru yang semakin rumit dan penuh warna juga memiliki peran besar. Di masa
itu, saya belajar untuk mencari jati diri. Hingga hasilnya seperti saat ini.
Sekarang, konklusi itu
tidak lagi melulu masalah perjuangan dalam lingkungan pendidikan ataupun
perjuangan untuk bertahan di tengah peliknya kehidupan (urban) seperti kata
mas-mas ERKnya. Perjuangan atas dua hal tersebut masih berlanjut. Tapi, ini
adalah berjuangan yang lebih penting.
Saya masih mengagumi
manusia tersebut. Masih orang yang dulu, sebelum saya kembali masuk ke dalam
pilihan bodoh yang saya langgar.
Saya terus mengaguminya
bahkan terus berharap bisa memiliki sosok yang saya anggap begitu sesuai untuk
dijadikan penerus nasab keluarga besar saya. Saya telah melepas pilihan-pilihan
terdahulu demi mendapatkan harapan tersebut. Saya rela menjalani hidup sesepi
ini, setelah saya kembali di kota ini. Saya rela menjadi sosok terjahat dan
terkejam bagi orang lain karenanya. Manusia itu. Karenanya saya tidak lagi
tertarik untuk menoleh ke arah manapun selain dirinya.
Hingga hari ini saya
kembali berkesimpulan, sementara.
Sikap dan respon
acuhnya akhir-akhir ini sedikit membuat saya kecewa. Apalagi satu hari yang
lalu saat saya melakukan penelusuran tersembunyi, ternyata....
Saya kira semua akan
baik-baik saja. Awalnya saya berusaha menerima keacuhannya, mungkin karena ia
semakin mengerucut menghadapi periode tersibuk di jenjang terakhirnya.
Kesimpulan sementara saya tidak demikian. Responnya kepada orang lain berbeda
dengan apa yang diberikan kepada saya. Mereka begitu hangat dalam setiap
obrolan yang terjadi beberapa jam yang lalu.
Konklusi sementara. Saya rasa ia sudah jenuh dan tidak lagi menoleh kepada saya. Saya rasa, manusia terjaga sepertinya memang tidak pantas bagi orang
seperti saya. Biarlah. Saya akan terus bertahan. Saya hanya perlu waktu untuk
menunggu hingga ia menjawab apa yang pernah saya utarakan. Hingga pada
akhirnya, saya melanjutkan perjuangan ini ataukah mundur secara perlahan hingga
ia benar-benar hilang dari mimpi yang masih terbungkus rapi. Saya harus lebih
bersabar dan menyiapkan semuanya agar saya tidak lagi menjalani pilihan yang salah.
Komentar
Posting Komentar