Soal Memasak

Wanita. Ia adalah sosok indah yang diciptakan Tuhan bagi para lawan jenisnya. Saya tekankan, hanya laki-laki munafik yang mengikrarkan diri bahwa ia tidak tertarik dengan wanita. Ditambah lagi ada embel-embel “yang belum halal yang belum ini, yang belum itu. Wes to rek, rausah sok sokan ngono kuwi. Ngko lek tak terusno pernyataanku malah saru. Mending lek ora terimo ayo ngobrol plong-plongan ambi aku, ngko lak kebuka kabeh.

Maaf terlalu nyliwur jauh. Topik tulisan ini tidaklah membahas tentang kemunafikan para lelaki yang sering ditunjukkan kepada wanita-wanita yang sebetulnya menjadi incarannya.

Akhir-akhir ini saya membaca artikel dari para wanita cerdas Indonesia yang mayoritas berisi tentang keharusan memasak bagi seorang istri. Alhamdulillah, saya rasa semakin banyak wanita Indonesia yang mulai cerdas dalam memahami ajaran agamanya, khususnya yang sekepercayaan dengan saya. Semoga artikel-artikel kemarin tidak ada kaitan sama sekali dengan semangat Hari Ibu Kartini yang biasanya menjangkit kaum wanita muda secara musiman.

Apa hubungannya memasak bagi seorang istri dengan agama, khususnya bagi para muslimah? Ehm. Sama seperti apa yang lima tahun lalu guru favorit saya katakan, sebenarnya tugas seorang istri dalam Islam hanyalah berias dan memberikan anak. Kita mengenal bahasa gaulnya sebagai macak dan manak.

Saya sendiri merasa senang dengan aturan paten seperti itu. Saat itu hati saya bergumam senang “kapok! Arek lanang-lanang sing manja ndek ibuke ben ngerti!”.

Bagi saya, wanita Indonesia adalah insan mulia yang memiliki banyak keunikan daripada wanita-wanita lain di tempat berbeda. Jika saya perhatikan wanita-wanita tangguh di kampung, termasuk almarhum nenek saya, mereka tergolong wanita yang tidak mudah puas. Bayangkan saja, selain di rumah mengerjakan tugas memasak, mereka masih sempat ngemong cucu, yang muda nyusoni anak, nyapu latar, cuci baju dan piring, mengepel rumah, metani tonggo, ngerumpi di warung sebelah, dan kegiatan-kegiatan unik lainnya. Seperti almarhum nenek misalnya, sejak saya SD hingga awal SMK, beliau masih bisa menyempatkan diri membantu saya dan kakek untuk membuat batu bata. Yang paling sangar, ada tetangga saya yang mbecak, ngojek, ataupun ngernet. Karena kehebatan dalam nyambi tersebut, istilah tempe, tahu, kerupuk, atau air gosong pun menjadi familiar di telinga kita.





Lantas bagaimana nuansa religi menyusup ke dalam sudut-sudut sensitif yang sudah dianggap menjadi kebiasaan bagi wanita-wanita tangguh Nusantara?





Saya sendiri masih bingung. Di satu sisi, wanita-wanita tangguh tersebut sangat menikmati perannya sebagai bentuk pengabdian total kepada suami. Agama juga membenarkan bahwa istri yang taat dan mengabdi penuh pada suami hingga mendapat ridho ketika kelak ia akan mati, maka ia bisa dipastikan mendapatkan tiket ke surga. Saya juga sering mendengarkan ceramah kyai ndagel KH. Anwar Zahid bahwa istri yang mencuci kathok suami, satu biji diganjar pahala sebanyak 1000. Keringat yang dikeluarkan oleh istri tidak hanya ketika nanana juga mendapatkan pahala tersendiri. Saya rasa, inilah kecerdasan lumrah wanita yang unggul dalam hitung-hitungan. Wanita-wanita tangguh yang saya temui menyadari betapa banyak khilaf yang mereka lakukan saat muda, sehingga ketika telah bersuami mereka berusaha mencari pahala sebanyak mungkin. Lagipula, prinsip golek timbangan apik gawe ngalahno sing elek dengan polosnya sering saya dengar dari embrio-embrio Ibu Kartini sejati.

Di sisi lain, ada beberapa wanita Indonesia khusunya para calon ibu yang tetap bersih kukuh dengan idealitasnya dalam bereligi. Mereka tetap ngotot bahwa kewajiban suami dalam Islam tetaplah mencari nafkah, nyapu-nyapu, korah-korah, ngumbah klambi, masak, nyusoni anak (emang bisa keluar? Sedangkan susu yang berkualitas adalah dari ASI), dan pekerjaan lainnya yang saat ini dijalani oleh ibu-ibu. Lha piye toh? Muslimah yang lain minta adanya kesetaraan gender, yang lain anti kesetaraan gender karena ‘barang itu’ produk dari Barat, mana yang benar? Yang nuntut kesetaraan gender meminta ke pemerintah agar wanita memperoleh posisi seperti layaknya lelaki pada umunya. Lha kemana saja Bu? Memangnya menyapu, ngepel, mendidik anak, dan yang saya sebutkan tadi bukan pekerjaan lelaki pada hakikatnya? Mau minta apa lagi? Nguli? Jadi ABK? Atau apa? Yang meminta kesetaraan gender dihapuskan berkoar-koar bahwa itu produk dari Amerika. Apapun yang berbau Amerika dan Barat mereka hukumi haram. Lha, modal jilbab panjang yang njenengan gunakan dari mana Ukhty? Lagipula kalau pandangan itu terus didengungkan untuk mendapat persetujuan, pasti kalian akan lebih nyleneh lagi. Yang Demokrasi, yang ini, dan yang berbau Keindonesiaan pasti dikatakan haram. Ntah lah, padahal seharusnya Ukthy bersukur karena demokrasi Ukhty semua bisa berdemo di jalan, bisa keluar rumuah dengan bebas, bisa kuliah, bisa hangout dengan teman-teman, dan kebebasan konstitutif yang lain. Bayangkan jika di sini total dilaksanakan hukum berdasarkan ide Anda semua, mana ada wanita taat muslimah yang bisa bebas mengumbar diri di muka umum? Anda mungkin hanya akan berdiam diri di dalam rumah sambil menunggu para pejuang istiharah yang siap meminang Anda. Masih ngeyel kalau wanita muslimah terjaga dengan menggunakan pakaian serba tertutup? Mata lelaki sangat tajam loh Bu.


Kumaha ieu mah? Abdi lieur pisan atuh!


Kembali ke fokus antara wanita dan memasak. Lantas sebagai generasi yang akan bangga bila dikatakan cerdas, kita harus bagaimana? Sebagai seorang pengagum wanita Indonesia, saya ingin memberikan saran. Saya akan mengambil jalan tengah dari kasus dilematis tersebut.

Apa yang salah jika seorang istri pandai memasak dan hobi memasak bagi suami?

Berangkat dari sudut pandang religius. Bagi saya, ajaran religi akan menemui keindahan yang sangat sempurna jika ia mampu berkolaborasi secara selaras, serasi, dan seimbang dengan kaca mata budaya. Contohnya, kurang indah bagaimana seni wayang yang dibawa oleh Wali Songo dalam berdakwah? Memasak bagi wanita Indonesia bisa saya katakan sebagai budaya. Di Nusantara, berbagai cita rasa masakan tradisional berhasil diciptakan oleh wanita-wanita adidaya Indonesia. Wanita sudah memasak sejak zaman nenek moyang. Memasak bagi saya adalah takdir yang diwariskan Tuhan kepada wanita. Dengan kekuatan super feeling dan estetikanya, wanita Indonesia mampu mensyukuri anugerah Allah dengan memanfaatkan hasil rempah-rempah yang melimpah bagi Indonesia sejak zaman ekploitasi Portugis hingga penjajahan teknologi oleh Amerika.

Pada intinya, saya berkesimpulan bahwa hanya wanita malas, manja dan lupa akan sejarah lah yang akan menghindari kelumrahan memasak bagi suaminya kelak. Hanya wanita malas yang menunda-nunda untuk bisa memasak hanya karena alasan-alasan tertentu yang masuk akal baginya. Lagipula, sebuah rumah tangga akan lebih terkesan bila tercipta sebuah korelasi dan kolaborasi yang aktif antara suami dan istri, bukan? Bayangkan betapa romantisnya hari Minggu jika ada suami istri yang saling bekerja sama menyelesaikan pekerjaan rumah bersama. Betapa bahagianya jika suami dan istri saling berbagi pengertian dalam menyelesaikan kegiatan keluarga. Bukankah pedal tidak akan bekerja jika tidak ada rantai? Jika tidak ada roda? Stang stir? Rem? Pelajari bagaimana sebuah sepeda dapat bekerja dengan sempurna.

Tidak adil jika saya hanya menghakimi para wanita mulia.

Bagi para calon suami, saya wajibkan Anda semua untuk memahami secara paten hakikat tugas dari suami. Jangan suka menuntut istrimu kelak ini dan itu. Sebelum menikah, kita harus bisa memasak, cuci piring, cuci baju, membersihkan rumah, menyetrika, open dengan anak kecil dan lain-lain. Jangan jadi lelaki pecundang yang bisanya menyusahkan istri kawan.










Memasak adalah kewajiban, terlepas dari apakah jenis kelamin kita. Memasak adalah proses mematangkan sesuatu yang awalnya mentah. Memasak adalah proses mengindahkan sesuatu yang awalnya tidak indah. Memasak adalah berproses untuk menciptakan sebuah hasil dari suatu proses, sama seperti hakikat kita hidup. Dengan begitu, tidak salah bukan jika kita adalah insan Tuhan yang diberikan kewajiban untuk memasak?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Sombong, Rendah Hati, Jujur, dan Munafik

Bosan Sendiri

SAYA TELAH TERBIASA