Pengusaha Tembelek
Masih jelas ingatan ini
ketika 16 tahun yang lalu saya dipaksa harus berjuang melewati hidup dengan
prinsip seorang diri. Masih ada bekas-bekas luka sayatan yang memang tidak akan
pernah hilang. Jari ini sebagai bukti bagaimana rasanya mencari uang sendiri
untuk sekadar uang saku mandiri.
Pasca dipanggilnya ayah
dan umi, saya berevolusi total terutama saat dua tahun terakhir tersisa di
jenjang sekolah dasar.
Ketika mereka tiada, saya
seolah kalap dalam membeli mainan seperti teman sebaya pada umumnya. Neker (kelereng), mobil-mobilan,
robot-robotan, tepok (istilah di
kampung saya untuk permainan kartu kecil bergambar tokoh-tokoh Dragonball), dan
mainan musiman lainnya saya miliki dengan jumlah yang tidak sedikit. Tepok dan neker terutama. Saya memilikinya hingga berjumlah satu dus lebih.
Masa kecil saya penuh dengan keberuntungan. neker
dan tepok yang melimpah sebagian
besar saya peroleh dari hasil bermain dengan teman-teman. Bagi anak-anak dulu,
memiliki tepok sak gebok dan neker sak toples adalah sebuah kekayaan
yang bisa mengangkat pamor pemilik. Begitupun pamor adik Mbak Nuri ini.
Kekayaan tersebut
benar-benar membantu saya sejak kelas lima. Ketika itu saya tersadar bahwa
bermain-main sudah harus saya sudahi mengingat peringkat kelas saya menurun di
tingkat sebelumnya. Ditambah lagi, roh-roh pengusaha kecil yang dulu pernah
bersemayam kembali masuk ke fikiran. Saya mulai mengumpulkan tepok dan neker yang saya miliki untuk dijual (saat itu robot-robotan dan
mobil-mobilan sudah tidak berbentuk lagi). Pengalaman kecil bersama almarhum
umi telah membuat tangan kecil saya saat itu telah mahir dalam hal
bungkus-membungkus. Bermodal plastik, eblek,
dan korek, saya membungkus neker dan tepok dengan pasti. Bungkusan neker maupun tepok berharga mulai dari seratus hingga seribu rupiah tertata rapi
di ruang kreatif saya saat itu. Benar, tidak butuh waktu lama pelanggan mainan
saya mulai bermunculan. Hingga akhir sekolah dasar, mainan-mainan tersebut
terjual habis. Uang hasil penjualan tersebut saya gunakan sebagai uang saku
sehari-hari. Anak yatim piatu seperti saya memang harus pandai mengatur diri.
Uang santunan yang adanya saat-saat tertentu membuat saya harus pandai dalam
memanfaatkan otak. Ditambah lagi saya harus menyadari bahwa penghasilan kakek
dan nenek sebagai buruh pembuat batu bata tidak akan mencukupi kebutuhan saya
dan kakak.
Fokus mencari
penghasilan.
******
Setelah berhasil lulus
sekolah dasar, saya semakin berubah menjadi seseanak
dengan semangat mengais uang. Di luar jam sekolah, saya mulai membantu kakek
membuat batu bata. Hal itu dikarenakan tenaga nenek yang mulai berkurang dan
beliau mulai sakit-sakitan. Badan kurus kering hitam saya seolah telah menyatu
dengan olah-mengolah tanah, nyitak¸nyisir,
nyigir, ngelinggo hingga tahap
akhir pembuatan salah satu bahan utama material tersebut. Kakek merasa terbantu
karena setoran batu bata pasca adanya saya semakin bertambah. Dampaknya, saya
memperoleh tambahan uang saku yang memang sengaja disiapkan oleh kakek (rindu
rasanya melihat senyum beliau saat itu). Saya juga telah terbiasa dengan dunia ngarit, panen pari maupun nguli. Semua
saya lakukan demi uang.
Satu usaha yang tidak
pernah terlupakan di benak saya seumur hidup adalah ketika saya menjadi penjual
layang-layang. Mainan musiman bagi anak-anak era saya saat itu merupakan ladang
rezeki yang telah menolong saya untuk berjuang mengatasi gensinya hidup.
Berawal dari kulit yang hitam dan rambut pirang akibat suka panas-panasan, saya memulai bisnis kecil
tersebut. Saya tidak puas jika hanya berperan sebagai tukang main dan tukang uber.
Saya memulai usaha itu dengan modal kira-kira Rp2.500 (500 bambu sak lonjor, 1000 kertas minyak, 500 lem,
500 benang). Setiap hari saya bisa membuat hingga 15 layangan-layang dengan
harga Rp500 dan 5-10 layang-layang dengan harga Rp300. Dengan begitu hampir
setiap hari saya memiliki penghasilan bersih lebih dari lima ribu rupiah saat
musim layang-layang berlangsung. Tentu saja, uang tersebut sangat berguna bagi
saya dalam menambah pundi-pundi uang saku. Di usia saat itu, saya seolah tidak
pernah merasa kekurangan. Saya bisa membeli apa yang saya inginkan. Pada
akhirnya, usaha tersebut harus berhenti hingga sekarang. Di tahun ketiga saya
membuat pring miber itu, musibah
seolah menjadi rambu saya untuk berhenti. Setengah ujung jari tengah dan kuku saya
terpotong oleh tajamnya pisau yang saya gunakan. Kegiatan pameran seni osis
telah membuat saya terburu-buru dalam menuruti permintaan pembeli. Terpotongnya
jari saya, membuat saya trauma. Rasa sakit yang luar biasa membuat saya
menghentikan usaha yang sebetulnya telah banyak membantu saya. Saya masih ingat
ketika malam harinya tangan ini penuh dengan darah segar ketika memindahkan
lukisan-lukisan menuju truk sekolah. Sejak saat itu, saya berniat untuk tidak
meneruskan usaha potensial itu kembali.
Saya beralih ke usaha
lain untuk mendapatkan uang. Beasiswa sekolah dan bantuan guru menjadi
pengganti atas usaha kecil saya yang telah berhenti. Selain tetap mencari uang
dengan membantu kakek di botoan, saya
berusaha mengikuti kegiatan-kegiatan di sekolah yang menguntungkan. Hingga lulus
dari SMK, saya berhasil melakukannya. Hal paling berkesan saat itu adalah
merasakan bagaimana uang seratus lima puluh ribu harus dibagi berlima. Ntah apa
yang dilihat dari band kami, sekolah menugaskan Stereo Phoenix untuk manggung di acara Agustusan kecamatan tempat
sekolahku berada.
Uang dan uang adalah
prioritas saya. Hingga lulus dari jenjang sarjana pun saya telah melakoni
banyak usaha yang menguntungkan.
*******
Akhir-akhir ini ada anak
muda yang sok-sokan menjadi pengusaha
brilian bercincong ria di depan saya. Nasehat dan promosi yang seolah menghebatkan dirinya terlontar panas
di telinga saya. Saya diceramahi begini begitu tentang bagaimana menjadi
seorang pengusaha, mencari peluang, mendapatkan keuntungan maksimal, dan segala
tetek bengeknya. Saya hanya bisa
tersenyum sambil berlalu meninggalkannya.
Mas,
sakdurunge arep sok-sokan pamer awak, sampean mesti ndelok sopo sing mbok ajak
ngomong. Aku ora sombong. Jujur ae, aku wes wareg masalah ngono iku. Welasan
tahun umurku wes tak abdikno digawe opo sing saiki arepmbok lakoni. Ora perlu ngomong dhuwur,
soale aku ngerti sampean ora ono apa-apane. Ora perlu bangga berlebihan lah.
Sampean loh mburine ono wong tuwo. Modal teko wong tuwo, opo-opo njaluk ndek
wong tuwo. Nyangkal? Duwik pribadi? Preketek mas. Lek sampean bangkrut lan
diuber-uber bank titil, pasti ujung-ujunge yo mblayu ndek wong tuwo. Ojo ngaku
pengusaha nomor wahid lek awakmu isih ngandalno sertifikat omah gede ambi
sertifikat tanah sing ombo teko wong tuwo. Oke??? Usaha gak perlu gede.
Penghasilan ora perlu akeh. Usaha iku dilakoni waktu awak dewe bener-bener
butuh, dudu wektu pengen-pengen sing neko-neko. Duwit sithik teko usahaku lebih
berarti kanggo bertahan urip daripada duwit akeh cuma digawe gengsi-gengsian
kanggo konco.
Komentar
Posting Komentar