Pulkam Singkat
Kurang dari satu minggu
saya berada di kampung halaman. Kekarepan
utama saya lunas setelah makam keluarga dengan ngoyo berhasil saya bersihkan. Saya sudah merencakan untuk
membersihkan makam mereka sebelum bulan istimewa datang. Benar saja, Kamis sore
minggu lalu saya tercengang. Makam kedua orang tua dan Faqih sudah tidak
berbentuk lagi. Ketiga makam yang berdekatan tersebut tertimpa pohon kelor yang
tumbang. Batang pohon besar dan ranting yang banyak jumlahnya telah membuat
nisan makam tersebut hancur. Selain itu, rumput yang semakin meninggi membuat
ketiga makam itu sudah seperti tempat bagi para pengembala sapi. Butuh sekitar
2 jam untuk membersihkan semuanya. Buding,
pacul, dan arit yang saya bawa kemarin benar-benar berguna. Saya dan Mbak
lega setelah bunga-bunga wangi tertabur dengan rata di ketiga makam pahlawan
kami. Misi utama saya memutuskan untuk pulang sebentar telah selesai.
Di hari berikutnya,
Mbak mengajak saya motor-motor. Beliau memang teman kencan yang selalu setia
menemani setiap saya pulang di kota ini. Mbak ingin memberi tahu saya tempat nongkrong yang katanya sejuk. Jum’at
sore itu saya mengarahkan beat menuju
jalanan yang tidak asing bagi saya saat esemka dulu. Dari Olehsari, Glagah, dan
akhirnya kami berhenti di sebuah bangunan tradisional di tepi jalan menuju arah
Licin. Kedung Lumpang. Salah satu tempat yang nyaman dan sejuk di daerah yang
masih tergolong asri. Di sana, saya menghabiskan waktu sejam setengah untuk
menikmati ketan khas olahan tempat tersebut dan segelas es degan gula aren.
Setelah bosan berada di
sana, saya meminta mbak untuk mengantar saya ke sebuah tempat. Bukan Banyuwangi
namanya kalau tidak kaya akan pantainya. Saya penasaran dengan sebuah pantai
yang dulu pernah dipamerkan oleh lare
Pakis itu. Dengan sedikit memaksa, saya memanfaatkan mbak untuk menuju ke
Pantai Cemara. Pantai yang kata mbak masih terletak di kekuasaan Pakis tersebut
letaknya tidak terlalu jauh dari kota. Namun sayang, akses jalan menuju sana
masih kurang baik. Indah dan menarik, kesan saya ketika pertama kali
menginjakkan kaki di sana. Penangkaran penyu, hutan mini pohon cemara,
musholla, maupun warung-warung masyarakat yang ada di sana bagi saya adalah
potensi yang satu atau dua tahun lagi akan menjadi luar biasa. Pantai Cemara
perlu mendapat perhatian lebih, khususnya dalam hal sampah yang masih
berserakan di mana-mana. Yang membuat saya terkesan adalah atmosfer Kepakisannya
yang sungguh kental. Bahasa asli daerah saya selalu terdengar baik dari mas-mas
penjaga parkir, pedagang, maupun para pengunjung yang biasa memanfaatkan momen
sore mereka di Pantai Cemara. Setelah meninggalkan kenangan gambar-gambar di
sana, saya dan mbak segera kembali ke rumah.
Sabtu saya mulai menuju
Wongsorejo, tempat orang tua kedua saya tinggal. Rasa rindu saya kepada Cahya,
Indah, dan kedua orang tuanya mengalahkan minat saya untuk menyaksikan Festival
Underwaternya Banyuwangi.
Malam ini adalah malam
ketika saya harus kembali izin untuk pergi kembali ke kota Ngawi. Tiga hari
berada di tempat pengasuhan saya sejak kecil, bagi saya masih jauh dari kata
cukup. Namun saya harus kuat dengan petualangan ini. Saya sangat peka dengan
kesedihan yang sengaja disembunyikan oleh Bu Lek ketika bibir ini mencium
tangan istimewanya. Perpisahan memang selalu menjadi kegiatan rutin dalam
petualangan saya saat ini. Besok pagi saya sudah harus memulai perjalanan
panjang lagi menuju barat. Malam ini, saya ingin menghabiskan sisa-sisa udara
sejuk kampung halaman yang selalu menyisakan cerita. Malam ini saya masih ingin
menikmati sisa warna yang masih bisa saya temui. Tak masalah banyak warna yang telah hilang. Bagi saya warna dari
keluarga sudah sangat cukup untuk mengobati pelipur lara.
Komentar
Posting Komentar