Hidup = Sahabatan
Anggap
saja hidup itu seperti sahabatan antara pria dan wanita. Statusnya digembor-gemborkan
dimanapun dan kapanpun mereka berada, tapi pada akhirnya ada ruang sensitif
yang akhirnya tersentuh juga. Ntah disengaja atau tidak, dinikmati atau
pura-pura buta, modus-modus klasik sudah sering dilakukan untuk mengubah status
sahabat menjadi cinta. Ya, hidup terkadang bisa selucu ini. Kadang jika cinta
sang sahabat tertolak, modus kembali bersahabat akan terus diagungkan. Bisa jadi
melakoni laga persahabatan dengan bungkusan modus-modus baru yang lebih
menawan, atau bersahabat dengan rela walau hati terus memendam perasaan. Yang pasti
dinamisasi namanya “persahabatan” seperti
itu, sama dengan hidup. Akan ada ledakan-ledakan yang tidak terduga dalam
melakoni laga persahabatan.
Bulan ini, Mei. Saya kembali
menerima ledakan-ledakan tak terduga dari perjalanan hidup yang saat ini terus saya
lalui. Skenario yang saya susun kembali berubah. Ah, sepertinya kembang kempis
dalam masalah tatanan hidup memang menjadi sahabat saya.
Setelah lulus 14 bulan
yang lalu, saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman yang memang telah
menunggu saya untuk kembali. Segala rencana matang yang telah saya tata dengan
baik, ternyata harus bubrah. Belum sempat
bersahabat dengannya, saya mendapat tawaran untuk bekerja di sebuah perusahaan
pembuat media pembelajaran berbasis multimedia. Di sana, saya harus bekerja
dengan cara menyampaikan materi pembelajaran siswa SMA di depan kamera
produksi. Beberapa minggu saya mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan baru
yang sebetulnya menjadi dambaan setiap lulusan muda. Hasilnya, saya berhasil
dan manajer menyetujui saya untuk bergabung dengan perusahaannya. Hari demi
hari saya merasa nyaman dan memutuskan untuk mengikat persahabatan dengan
kondisi tersebut. Modus-modus baru saya lakukan agar lingkungan baru saya
semakin percaya dengan apa yang saya punya, salah satunya dengan memperkaya
improvisasi di depan kamera. Satu hingga enam bulan pun berlalu. Persahabatan
yang awalnya harmonis, pada akhirnya rusak karena pihak perusahaan telah
merugikan saya. Di satu sisi penghargaan mereka tidak sesuai dengan apa yang
saya lakukan, di sisi lain salah satu guru muda wanita mulai membuat saya tidak
nyaman. Saya pun akhirnya menyudahi persabatan dengan perusahaan tersebut,
karena mereka tidak bisa memahami makna persahabatan yang saya bangun dengan
susah payah.
Saya akhirnya memutuskan
untuk pulang kampung sebagai solusi ketika pundi-pundi rupiah mulai menurun. Beberapa
bulan saya berada di kampung halaman. Ntah mengapa tidak ada atmosfer
persahabatan yang dapat saya temukan. Tempat di mana saya dilahirkan sudah
tidak lagi membuat saya nyaman. Saya larut dalam kekalutan akut.
Awal tahun, seorang teman
yang sudah menganggap saya sebagai bagian dari keluarga menghubungi. Saya ditawarkan
untuk ikut tinggal bersama keluarganya hingga masa depan yang jelas menghampiri
saya. Berat, tapi saya menginginkannya. Dengan negosiasi alot bersama keluarga,
akhirnya saya diperkenankan untuk menginjakkan kaki di tempat yang benar-benar
baru bagi saya.
Ngawi, sebuah kabupaten
di ujung barat provinsi tempat saya berasal. Hanya terima kasih tak terhingga
yang dapat saya ungkapkan kepada keluarga super ini. Sebuah keluarga sederhana
yang maha mewah. Sebuah keluarga religius yang tidak pernah menampakkan sisi
kereligiusannya. Sebuah keluarga yang tidak pernah memandang siapapun yang akan
ditolongnya. Sebuah keluarga yang tiada bandingannya di dunia seperti saat ini,
saya berani menjaminnya.
Di lingkungan baru ini,
saya menaruh asa yang dalam untuk memulai ketulusan baru dalam sebuah persahabatan.
Saya ingin melupakan duka lara yang telah saya rasakan sebelumnya. Saya ingin
menghapus duka saat nenek sudah menutup mata selamanya, melupakan kecewa ketika
asa beasiswa
S2 seolah musnah, melupakan pekerjaan yang membuat kecewa, dan
yang lainnya.
*******
Tidak terasa sudah 4
bulan lamanya saya mampu bersahabat dengan baik. Saya hanya ingin mengabdi di
sini tanpa berharap sesuatu yang lebih. Tidak ada lagi angan-angan yang terlalu
tinggi, selain menjalani hari demi hari di sini. Semua tulus saya lakukan
sebagai bentuk komitmen terhadap kebaikan keluarga dan lingkungan ini yang
telah saya anggap sebagai sahabat. Saya ingin terus bersahabat dengan keadaan
seperti ini.
Awal Mei semua berubah. Ntah
harus berekspresi bagaimana saya. Sahabat S2 yang dulu telah saya tinggalkan
kembali menghampiri untuk menawarkan sebuah asa. Keluarga luar biasa ini mulai
perlahan membangkitkan kembali keinginan yang sebetulnya sudah mulai saya
buang. Mereka memberi nasehat dan solusi agar saya kembali melanjutkan beasiswa
S2. Mereka siap menanggung segala keperluan saya untuk pengurusan itu.
Saya kembali tertawa
dengan skenarioNya. Sungguh Maha Jenius. Pikiran, hati, dan hidup saya kembali
dibolak-balikkan dengan begitu mudah.
*******
Dulu “orang rumah”
menggemborkan status pekerjaan saya ke seluruh tetangga sebelum persahabatan
saya dengannya pisah. Selanjutnya kakak dan mbah mengumumkan bahwa saya
melanjutkan S2 sebelum rencana itu musnah. Masih banyak lagi hal-hal yang
digemborkan agar tetangga menjadi bangga telah memiliki saya. Saya tidak tahu
bagaimana perasaan para tetangga ketika apa yang sudah digemborkan keluarga
ternyata sudah tidak ada buktinya.
*******
Saya menyadari bahwa
modus-modus dalam setiap persahabatan yang saya bangun begitu penting. Modus saya
ibaratkan sebagai usaha dalam meraih satu kepastian dalam ribuan peluang. Jika
saya memakai modus A, setidaknya ada 3 peluang di sana. Pertama, tujuan memodusi berhasil. Kedua, tujuan memodusi gagal sementara dan saya harus mencari modus
baru untuk berhasil. Ketiga, tujuan
memodusi gagal total sehingga ada dua kemungkinan yang harus saya lakukan;
bermain drama dalam melakoni persahabatan; meninggalkan persahabatan dan mencari
persahatan baru. Ya modus penting. Ia harus terus dimunculkan dalam mencapai
tujuan.
*******
Ledakan-ledakan dalam
persahabatan bersama lingkungan hidup baru selalu saya alami. Kejutan-kejutan
selalu menghapiri saya, terutama ketika mulai diserang oleh frustasi. Saya kembali
mendapatkan pelajaran yang belum tentu diperoleh oleh mereka yang masih
beraktifitas dengan manja oleh sentuhan-sentuhan orang tua. Mulai saat ini,
saya harus lebih mahir dalam bersahabat. Kalau perlu, cintai sahabat dengan
modus dan cara yang tepat.
Awakmu
mendem to nulis iki? Kok Aku bingung? “Cuma wong cerdas sing iso ngerti :D“
Komentar
Posting Komentar