Sedikit kecewa
Seharusnya
nanti malam saya sudah harus berada di dalam bus dan melakukan perjalanan
panjang nan jauh menuju barat. Positif. Saya harus menunda kepulangan ini
hingga minggu depan. Padahal guru-guru di markas besar sudah menunggu dan
menanyakan kabarku berkali-kali.
Batuk,
panas, pilek, pusing sudah membuatku berada di jalur demam tinggi. Mereka tanpa
izin menyerang dengan sporadis hingga fisik saya yang tergolong kuat ini ambruk
dibuatnya. Saya menyerah. Saya tidak mampu beraktifitas seperti biasanya
setelah pak lek mengantarkanku kembali ke rumah. Baru hari ini saya sedikit dapat
menggerakkan jari.
Seperti
biasa, di rumah ini saya kurang terurus. Rumah yang dulu menjadi kebanggaan
keluarga kami, kini berubah menjadi neraka yang membuat saya kepanasan ketika
memasukinya. Panas fisik maupun batin. Mbak dulu sangat perhatian dengan adik
kandung yang tersisa ini. sekarang perhatiannya semakin terkikis dengan arus
teman-teman di layar gepeng yang
silih berganti datang. Mbak sekarang lebih asyik dengan teman-teman mayanya
sampai lupa dengan apa yang harus ia lakukan di dunia nyata. Mas apalagi. Hampir
setiap hari hidupnya hanya untuk mengabdi ke ibu dan adiknya yang kaya anyaran itu. Jangankan menaruh perhatian
untuk saya, untuk kakak saja ia tergolong cedera. Mas bukanlah sosok imam ideal
bagi kakak saya. Bayangkan, ia menikahi kakak secara meyakinkah, namun dalam
perjalanan hingga saat ini ia hanya sibuk ngurus
keluarga orang. Ibunya sudah punya keluarga, adiknya pun sudah punya. Ntahlah mereka
seperti keluarga mak-mak’an yang
tidak mengerti hakikat keluarga satu sama lain.
Sekarang
saya masih drop. Saya mendadak menjadi sangat lemah. Jangankan untuk mencuci
sarung-sarung yang hendak saya bawa, untuk berdiri ke kamar mandi saja kepala
rasanya ingin pecah.
Saya
tidak boleh terus-terusan seperti ini. Melalui tulisan ini saya perlu
mensugesti diri untuk melawan sakit. Orang miskin dilarang sakit. Orang mandiri
dilarang sakit. Orang kuat dilarang sakit. Orang anu dilarang sakit.
Hari
ini saya diberi kesempatan. Saya sedikit mendapat energi untuk mengetik dan
berdiri. Saya harus memanfaatkan momentum ini untuk berbalik melawan sakitnya wong melarat yang saya derita. Butuh sentuhan
pak dokter dan obat yang tepat agar virus ini keluar dengan instan. Saya sudah
bosan mengkonsumsi obat-obatan warung yang sudah tidak terhitung lagi
banyaknya. Terpenting, saya harus mencoba obat mujarab sejak kecil dulu yang
umi terapkan. Obat tersebut sudah menjadi label bagi saya hingga saat ini. Obat
itu menjadi solusi terakhir umi jika anak lelaki nomor duanya ini tidak kunjung
sembuh melawan demam yang ia hadapi. Dengan
logat Usingan yang kental, almarhum
selalu berkata “Tara kadhung loro sing
mari-mari gedigi tukokaken sate kambing yoro waras”. Benar sekali. Mungkin efek
usia kecil tidak pernah makan lauk enak. Hampir setiap pagi kami hanya makan
nasi dengan lauk satu telur yang dibagi menjadi empat bagian. Sayurnya kalau
tidak sayur kelor ya oseng-oseng kates.
Kalau tidak ada sayur ya nasi plus kecap. Sate kambing bagi saya dulu adalah
makanan istimewa bagi para raja. Sate kambing? Saya bisa mengkonsumsinya di
waktu-waktu tertentu di usia kecil saya. Saat sakit tak kunjung sembuh dan saat
dibelikan oleh para pelayat ketika ayah, umi, dan faqih sudah tiada lagi.
Saya
akan membelinya malam ini umi.
Komentar
Posting Komentar