KEMBALI KE MASA LALU

Seminggu yang lalu, kakak tercinta bercerita kepada saya. Ia menceritakan hasil obrolan bersama dengan teman-temannya yang saat ini merintis jalan keuangan, alias berwirausaha. Kakak saat itu mengatakan seperti ini. “Awakmu ngerti Tar, koncoku kan ngerintis usaha pithik petelur yoh. De’e cerito kepiye susahe mbangun usahane. Eh moro-moro sak enake ngomong ngene ndek aku. ‘Koen enak Nu’ saiki, aku saiki mesti rutin merikso pithik-pithikku arep ngendog opo enggak. Aku lebih soro teko awakmu Nu’. Yawes Tar, langsung tak guyu ambek aku. Tak jawab ngene roh, ‘opo mbak? Sampean ngomong soroan sampean? Sampean umur piro mbak ngeladeni pithik ngendog? Buru umur pithulikur iki kan? Sampean ngerti? Aku mbak, mulai sak durunge sekolah aku wes ngurus jenenge pithik ngendog. Iki saksine, jentikanku loh. Adekku yo sek urip. Aku ndisek tiap isuk ambek umiku wes dikongkon ndelok silite pithik ambe jentikan iki mbak. Ngerasakne mangani pitik, bebek, angon wedhus, kabeh wes tak lakoni. Kejiret tampare wedhus aku yowes tuwuk. Sampean kasep mbak lek ngomong aku mesti enak, seolah-olah aku gak pernah soro. Aku lebih soro teko opo sing sampean delok saiki’. Langsung arek-arek mlongo Tar, terus podo meneng kabeh gak iso ngomong.”

Jawaban sempurna Mbak, makin salut denganmu.

Bukan hanya sampean yang selalu dianggap remeh oleh teman-teman. Bukan hanya kamu yang selalu dipandang tidak bisa apa-apa dalam hal hidup sulit yang penuh perjuangan. Akupun sebagai saksi perjuanganmu juga begitu.

Saat masih aktif di UM dulu saya sering dicemooh, terutama oleh mereka yang kaya dan mereka para wirausahawan balita. Banyak yang mengatakan bahwa saya tidak bisa apa-apa, terutama dalam mencari penghasilan. Saya dianggap hanya mampu mengandalkan beasiswa dan uang pensiunan almarhum yang jumlahnya tak seberapa. Alhasil, hingga masuk ke semester akhir saya masih dicela karena dianggap ketinggalan zaman. Nokia 110 yang setia di tangan saya menjadi hal menonjol untuk bahan tertawaan mereka. Saya masih ingat benar dengan kalimat ini “Ampun awakmu Yat, zaman wes koyok ngene awakmu sek nyekel hp ngene ae. Kapan majumu Yat Yat...” (sambil tertawa keras di kantin yang berada di antara dua fakultas, dan parahnya saat itu ada cewek-cewek kece lagi berkeliaran). You know what I feel? Aku rapopo. Kata-kata seperti itu telah mainstream di telinga saya, terutama ketika saya tidak pegang HP kala SMP tingkat akhir dulu. Saya hanya membalas semuanya dengan senyum dan kadang membantu mereka tertawa, menertawakan diri saya yang masih selalu ketinggalan gaul.

Sudahlah. Kenyataan saat itu tidak mampu menolong berbagai bully yang datang. Saya hanya bisa menulis semua ini lewat si teman setia. Semoga suatu saat kalian bisa menemukan penjelasan ini kawan-kawanku yang baik hatinya.

Pertama yang perlu kalian ketahui dan garis bawahi adalah, saya tidak pernah mengandalkan beasiswa atau uang pensiun orang tua sebagai satu-satunya hal yang bisa membuat saya bertahan hidup. Berwirausaha? Saya sudah melakoninya sejak kecil.

Ketika saya masih berusia 5 tahun dan orang tua masih ada, saya sudah memulai perjuangan hidup. Setiap hari, pagi dan sore saya selalu mendapat tugas untuk mengurus ternak bersama kakak. Dengan waktu yang sama pula, kami diserahi tanggung jawab untuk membersihkan rumah, menyapu halaman, menyiram bunga, maupun pekerjaan rutinan yang lain. Kami melakukan hal tersebut agar orang tua kami bersikap baik, terutama menurunkan jatah makan kami. Kejam? Penindasan? Itulah kenyataan balita saya. Saya katakan tidak kejam namun mendidik, karena saya merasakan dampaknya sekarang. Setahun sebelum mereka berhijrah dari dunia, di kelas 1 SD saya diberi tanggung jawab yang lebih besar. Saat itu saya memperoleh uang saku rutin Rp 500 untuk ditabungkan. Untuk uang jajan? Saya harus mengusahakan sendiri. Umi memberikan solusi dengan menyuruh saya berjualan kacang kapri di kelas. Harga seratus rupiah tiap bungkusnya cukup membantu saya dalam mencari uang saku. Di usia senang-senangnya bermain saya telah memulai berwirausaha. Tidak hanya itu, umi juga selalu menantang saya dengan resiko yang luar biasa. Mungkin orang tua tidak akan pernah melihat saya dikhitan jika seandainya tantangan agar saya meraih peringkat pertama saat kenaikan kelas waktu itu tidak tercapai. Ya, kalian masih enak. Tinggal todong orang tua untuk disunat, kun fayakun serta berbagai tanggapan juga telah tersedia dalam satu kedipan mata. 7 tahun pertama hidup di dunia telah mengajarkan saya bahwa segala sesuatu tidak dicapai dengan cara yang instan, termasuk dalam proses memotong titit saya.

Apakah kalian pernah membayangkan bagaimana saya bisa bertahan hidup hingga sekarang? Apakah kalian tidak ingin bertanya mengapa saya masih bisa sejajar dengan kalian para jutawan? Apakah kalian tidak ingin mengetahui bagaimana perjuangan hidup yang harus saya lalui setelah kedua orang tua saya mati?

Kawan, saya telah mengalami bagaimana rasanya hancur, frustasi, berantakan, kacau balau. Sejak kepergian mereka, dari kelas 2 hingga 4 saya menjadi anak yang tidak terurus. Prestasi dan kehidupan disiplin yang mereka ajarkan seluruhnya hangus. Saya terpuruk menjadi anak liar yang terus memburuk. Hampir setiap hari selalu saya isi dengan bermain. Hingga tiba saat itu di kelas 4 ketika wali kelas habis-habisan menghakimi saya di depan teman-teman dengan raut tawanya. Saya dicemooh dengan kata-kata yang sangat menyakitkan hati. Saya mendapat predikat kotor, kemproh, jorok, nakal, malas, dan sifat-sifat jelek yang tdak seharusnya dimiliki oleh anak SD.

Ntah apa yang membuat bayang-bayang itu hadir. Umi dan ayah seolah muncul dan memperingatkan saya untuk berubah. Universary meninggalnya mereka saat itu menjadi kado tersendiri yang telah mengubah saya untuk kembali ke jalur semestinya. Sejak saat itu saya memulai hidup dan perjuangan baru. Sejak awal kelas 5 Allah telah membimbing saya. Saya bisa bersekolah karena beasiswa peringkat kelas dan hasil lomba-lomba. Puncaknya, kelulusan kelas 6 saya berhasil menyabet 3 gelar juara, baik di dalam maupun di luar sekolah. Kalian harus tahu, sarung berwarna ungu yang masih saya gunakan hingga detik ini adalah salah satu saksi perjuangan saya saat itu.

Kalian masih merendahkan saya karena usaha yang kalian rintis saat ini?

Setelah berhasil masuk ke SMP, saya kembali melanjutkan warisan ilmu usaha dari umi. Saya mencukupi uang saku dan kebutuhan saya dengan menjual layang-layang hasil buatan sendiri dan mainan-mainan bekas yang jumlahnya tidak sedikit. Tidak hanya berpuas diri kepada pelanggan yang saat itu dikatakan melimpah, saya juga ikut kakek bekerja membuat batu bata. Pekerjaan seberat apapun saya lakukan untuk bisa terus sekolah, sekali lagi tidak hanya mengandalkan beasiswa sekolah. Kalian masih ingat bukan jari tengah di tangan kiri yang pernah saya tunjukkan? Bekas yang ada adalah saksi ketika jari ini terbelah oleh tajamnya pisau saat hendak menggarap pesanan layang-layang waktu itu.

SMK? Saya sudah pernah nguli. Hingga 4 bulan sebelum lulus, saya berhasil menyembunyikan status saya dari sekolah. Saya sengaja memodifikasi si supra sedemikian rupa agar saya memperoleh predikat sama seperti mas-mas STM saya. Saya tidak ingin status ini menjadi alasan sekolah untuk iba kepada saya. Saya hanya ingin memperoleh fasilitas bukan karena status ini melainkan karena prestasi. Perlu kalian ketahui juga, berbagai lomba maupun organisasi OSIS dari SMP hingga SMK saya ikuti bukan murni untuk meraih juara. Saya sesungguhnya masih terlalu bodoh untuk mengikutinya. Makan gratis, uang saku, dan jalan-jalan ke luar kota adalah alasan utama saya mengikuti setiap kesempatan yang dimandatkan oleh sekolah.

Kawan-kawan yang sangat saya hormati, bukankah kalian tahu berapa kali saya absen setiap semesternya karena kegiatan-kegiatan di kampus kita tercinta? Kalian juga tahu bukan kalau saya sengaja meninggalkan PKM hanya untuk berkosentrasi ke organisasi yang saya ikuti? Kalian kan tahu kalau PKM adalah salah satu hal selain IPK tinggi yang telah diwajib’ainkan oleh The Learning University dan Dikti? Bukankah semua sudah bisa menjadi bukti kalau saya tidak 100% mengandalkan beasiswa? Kalaupun uang pensiun terlalu cukup untuk memenuhi uang saku pribadi, ngapain saya harus menerima tawaran rutin ngeMC? Buat apa juga saya memperjuangkan uang honor sebesar 75 ribu saat menjadi pemateri? Untuk apa juga saya harus mengais konsumsi-konsumsi sisa setelah kegiatan HMJ dan KPU selesai waktu itu?

Kedua yang perlu kalian ingat baik-baik saat itu adalah idealitas saya dalam memerangi arus deras alat komunikasi canggih. Saya tidak pernah keberatan dengan istilah ndeso, katrok, kuper, de el el dari kalian. Setidaknya saya memiliki beberapa alasan dalam hal ini.

Pertama, saya tidak mempunyai uang cukup untuk membeli piranti itu. Saya lebih mengarahkan rupiah yang saya miliki untuk nempur beras kiloan di warung kos sebelah. Kedua, saya saat itu masih terlalu takut untuk gaul dini. Saya takut tertular penyakit ndingkluk seperti kalian saat itu. Ntah kenapa kalian sering melihat ke layar tersebut sambil kadang tertawa atau menangis saat dosen menjelaskan materi-materi penting kuliah. Ketiga, saya tidak yakin kalau saya membutuhkan alat itu. Saya masih punya buku untuk saya pelajari dan otak untuk menghafal materi ketimbang cari di google ketika ujian dimulai. Keempat, saya merasa belum pantas memiliki alat tersebut. Kelima, saya akan bertentangan dengan artikel yang selalu terkirim jika saya memilikinya saat itu. Keenam, saya masih bisa datang ke warung internet jika ada tugas dari kampus. Lagi pula, saya merasa lebih berguna di warnet prabayar. Tugas menjadi cepat selesai karena mata selalu terikat pada billing time. Ketujuh, saya takut akan lulus dengan waktu yang molor karena terlalu asyik menjelajahi dunia maya untuk sekadar mengobrol. Alhamdulillah, orang kuper dan nggak gaul seperti saya malah bisa lulus terlebih dahulu dari kalian yang selalu ditemani oleh si smart yang katanya selalu membawa guna. Alasan saya on the spot banget kan??

Kawan-kawan yang saya sayangi, setidaknya saya telah memiliki piranti yang dulu kalian sombong-sombongkan. Memperolehnya dari hasil sendiri lebih menakjubkan dibandingkan dari hasil todongan orang tua yang mulai sakit-sakitan.


Kawan, jangan pernah memandang rendah seseorang. Terkadang kita tidak tahu bagaimana ia melewati tantangan hidup yang ia miliki. Lebih baik diam daripada terkurung dalam tradisi suka menyombongkan. Maafkan jika pada tulisan ini ada kesan angkuh yang kalian temui. Saya sama sekali tidak ada maksud begitu. Saya hanya membela diri dari apa yang dulu pernah kalian lakukan dan sekarang kakak saya juga merasakan. Terima kasih atas segala perhatian kalian yang terus membuat saya kuat dan semakin membuat saya tertantang. Tanpa kalian saya tidak akan pernah bisa seperti ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Sombong, Rendah Hati, Jujur, dan Munafik

Bosan Sendiri

SAYA TELAH TERBIASA