Keluargaku Pendidik



Semua keluarga saya adalah para pendidik, meskipun hanya almarhum ayah saja yang berprofesi sebagai guru resmi di sebuah sekolah dasar.

Pertama sudah tentu sang pendidik handal madrasah pertama saya, almarhum umi. Beliau bukanlah seorang lulusan sarjana dari universitas ternama. Beliau hanya seorang lulusan SMA. Tapi, berbicara masalah kadar keilmuan, beliau jagonya. Beliau berjasa dalam membangun kognisi pertama saya. Ya, saya yang tidak pernah merasakan bangku taman kanak-kanan ini merasa sejajar dengan mereka karena sang umi. Di usia saya yang belum duduk di bangku sekolah, saya sudah bisa menulis, membaca dan mahir berhitung. Saya percaya bahwa anak laki-laki dalam keluarga merupakan warisan 90% lebih gen dari ibunya. Umi adalah sosok yang cerdas dan luar biasa. Saya memang belum bisa menyamai levelnya, namun saya akan terus belajar untuk menjadi sehebat dirinya. Selain mematangkan kognisi saya, beliau bejasa melatih kemandirian dan kedisiplinan bagi Tara kecil. Setiap pagi, beliau selalu membangunkan saya secara sukarela atau kadang terpaksa (karena biasanya saya sangat sulit untuk membuka mata ketika sang fajar menyala). Beliau memberikan tugas kepada saya untuk memberi pakan ayam-ayam peliharaan keluarga. Sore hari sebelum mengaji, umi memberikan tugas untuk membersihkan rumah di bagian dalam (kakak selalu mendapat jatah halaman rumah) serta menyirami tanaman yang jumlahnya cukup banyak menghiasi sekeliling rumah saya. Sampai sebelum beliau meninggal duniapun, jasanya masih terus diberikan kepada Tara yang katanya menjadi anak kesayangannya. Saya mungkin tidak akan dikhitan ketika beliau masih hidup jika saja saya gagal menuntaskan tantangan yang beliau berikan. Umi. Bukan ibu saya rasanya jika tidak ada tantangan dan motivasi setiap harinya. Saat akan menghadapi ujian kenaikan kelas satu, beliau memberikan janji akan mengkhitan saya jika mampu meraih peringkat pertama di kelas. Hasilnya, saya berhasil. Umi, ketegasan dan didikan keras beliau tidak akan pernah ada bandingannya. Ia adalah ibu maha dahsyat yang tidak akan pernah bisa disamai dengan ibu manapun di dunia.

Kedua adalah almarhum ayah. Cerita saya tentang beliau tidaklah sebanyak apa yang telah lakukan kepada umi. Di keluarga kami, ayah lebih sering menghabiskan waktu berdua bersama Mbak Nuri yang memang saat itu lebih dewasa daripada saya yang belum mengerti apa-apa. Ayah merupakan sosok kepala keluarga yang sangat jenius. Beliau merupakan jebolan anak rantau sukses yang mampu bertahan hidup di kota tempat saya dilahirkan. Beliau multi profesi, mulai dari guru agama di sekolah, guru ngaji di rumah, penceramah, qori’, pak modin, dan tentunya pilot bagi keluarga kami. Secara sifat, beliau adalah orang yang sangat sabar. Beliau sering mengalah apabila bermasalah dengan umi di rumah. Beliau banyak memberikan saya motivasi bagaimana cara menjalani hidup, ya meskipun saat itu saya masih semi-semi mengerti tentang apa yang beliau katakan. Kenangan paling berkesan dari beliau adalah kebiasaanya mengeluarkan sabuk kerjanya ketika anak-anak bandelnya tidak melaksanakan salah satu rutinitas keluarga, tidur siang. Bagaimanapun, beliau telah meninggalkan beberapa warisan kepada saya, salah satunya adalah kemampuan menjual layang-layang untuk mencukupi kebutuhan sekolah.

Ketiga adalah Mbak Nuri alias Mbak Santi alias Si ndableg. Ntah nurun siapa Srikandi satu ini. Sejak kedua orang tua kami ada, ia selalu membuat masalah. Kalau diingat, kelakuannya sangat konyol dan membuat tawa. Terlepas dari itu semua, saya sangat berterima kasih atas kesetiannya menemani saya ketika orang tua kami dan adik kami tiada. Ia mampu menjadi orang tua pengganti walaupun kadang agak nyleneh. Ia seharusnya lebih tinggi dari saya, karena memang secara alamiah ia adalah bocah yang cukup cerdas. Di masa SMK, mbak pecicilan ini mampu meraih prestasi membanggakan sebagai the best speaker pada lomba debat Bahasa Inggris yang diikutinya. Prestasi itulah yang membuat saya termotivasi untuk mengikuti klub debat di sekolah, walau akhirnya saya gagal total. Saya ingin sekali marah kepadanya. Bayangkan betapa kesalnya saya saat itu. Cita-cita saya untuk menjadi dokter sejak kecil harus kandas saat saya akan lulus dari satu Glagah. Ia menyarankan saya untuk tidak mengambil SMA karena kendala biaya. Ia telah membuat saya sedih berkepanjangan atas hal tersebut. Well well well, terlepas dari itu semua, kakak tetaplah menjadi sosok yang luar biasa. Jasa-jasanya telah membawa saya menjadi seperti sekarang. Usaha-usahanya untuk saya hingga detik ini belum dapat saya balas.

Selanjutnya adalah sosok almarhum nenek tercinta. Meninggalnya beliau sekitar setahun yang lalu adalah kabar duka yang sangat mendalam bagi saya. Bagaimana tidak, beliau merupakan sosok yang selalu berada di belakang saya dalam kondisi bagaimanapun. Selama ini, beliaulah yang menjadi saksi atas keberhasilan yang saya raih, mulai dari tampil sebagai duta pramuka di sekolah dasar, hingga sukses menakhlukkan skripsi. Dalam hal SDM, beliau memang bukan sosok yang cerdas. Oleh karena itu, kakek lah yang mengajari saya mengerjakan tugas sekolah ketika saya masih berada di tingkat di tingkat dasar. Nenek adalah aktor yang sangat penyabar. Beliau selalu tlaten memberikan perintah agar cucunya melaksanakan sholat lima waktu. Beliau tidak marah jika saya membandel dalam hal beribadah. Melalui nenek lah motivasi saya selama menimba ilmu di Bumi Arema terbentuk. Rutin setiap minggunya nenek selalu menelfon saya untuk menanyakan kabar, baik kabar cucunya maupun kabar kuliah. Saya akui telah banyak berdosa kepada beliau. Saya sering membohongi beliau tentang kondisi saya selama menjadi anak kos. Saya selalu mengatakan kondisi terbaik saya meskipun pada kenyataannya saya sering terpuruk di kota orang. Pada akhirnya, foto wisuda besar yang tergantung di dinding rumah nenek merupakan hadiah khusus saya bagi beliau. Sayang, keinginan beliau untuk melihat saya menggunakan seragam kerja dan membawa istri di rumah sudah musnah. Beliau telah terlebih dahulu meninggalkan kami semua.

Kakek. Merupakan sosok cerdas yang memang memberikan bibit unggul kepada cucu-cucunya. Beliau hadir sebagai aktor tangguh yang dengan didikan kerasnya mampu membuat cucu-cucunya seperti sekarang. Pengalamannya menjalani pendidikan militer berimbas pada cara beliau mendidik saya. Melalui tangan beliaulah hidup saya kembali terarah setelah sebelumnya tidak terarah pasca ditinggal oleh orang tua. Beliau berjasa mendidik saya dalam hal sekolah maupun agama. Beliau selalu mengejek saya jika di kelas saya kalah dengan teman-teman. Beliau juga membodohkan saya jika saya bermalas-malasan ngaji. Ntah sudah berapa banyak layang-layang saya yang beliau patahkan, ntah berapa meter benang layang-layang yang beliau bakar ketika saya membolos mengikuti program belajar qori’ dengan mantan murid almarhum ayah. Alhamdulillah, piala dan piagam juara umum lomba qori’ di masa-masa terakhir sekolah dasar dulu adalah sebagai bukti keberhasilan kakek dalam menggembleng cucu ngglidiknya ini. Andai tidak ada beliau, mungkin tidak akan ada penghasilan tambahan saya dari hasil membawakan tilawatil Qur’an di masjid-masjid ketika hari besar agama tiba. Saat ini, saya menaruh asa yang besar agar beliau dapat menemani saya hingga mencapai kesuksesan seperti apa yang diharapkan oleh almarhum nenek. Saya memang semakin jauh, tetapi melalui jarak yang tidak dekat saya akan terus menjaganya.

Tidak lengkap rasanya jika saya tidak menyertakan keluarga bu lek. Bicara tentang jasa, pengorbanan mereka terhadap masa depan saya sudah tak terhingga. Merekalah yang membesarkan saya. Merekalah yang telah mengantarkan saya hingga saat ini. Bu lek dan Pak lek telah menjadi sapu tangan ketika tangis ini kembali ada. Mereka menjadi penolong ketika susah telah mendera. Mereka telah muncul sebagai sosok malaikat yang telah memayungi saya dalam kondisi kehujanan maupun kepanasan oleh fluktuasinya hidup.

Ah ingin menangis rasanya jika saya harus mengingat semuanya.

Saat Ramadhan seperti saat ini adalah waktu bahagia, terutama bagi mereka yang masih menikmati lengkapnya anggota keluarga.

Sekarang tidak ada ayah, umi, nenek, Faqih, maupun kakak yang dapat merasakan hangatnya perbincangan keluarga. Kakak apalagi. Ia semakin sibuk dengan urusannya. Di sini saya hanya bisa mengenang kembali ingatan-ingatan indah yang memang menjadi semangat saya untuk terus hidup dan memecahkan setiap misteri didalamnya.

Saya beruntung, Ramadhan tahun ini bisa sebulan penuh berada di kampung halaman bersama sisa keluarga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Sombong, Rendah Hati, Jujur, dan Munafik

Bosan Sendiri