Kejutan di Bulan Mulia

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ramadhan bagi saya adalah saat yang sangat luar biasa. Di bulan tersebut saya banyak belajar tentang bagaimana menjalani hidup yang sebenarnya. Bulan Ramadhan telah banyak memberikan pelajaran kepada saya tentang bagaimana cara menyikapi hidup dan bertahan di dalamnya. Hampir 6 tahun terakhir saya menjalani Ramadhan dengan kondisi dan situasi yang berbeda-beda. Katakanlah tahun lalu, masa-masa terakhir saya menikmati kota di mana kognisi, afeksi, dan psikomotori saya dimatangkan. Bertahan di kota orang saat Ramadhan adalah sebuah tantangan yang tidak semua orang bisa melewatinya dengan baik. Ramadhan di luar kota mengajari tentang bagaimana berartinya mewek karena rindu orang tua, berburu takjil ke masjid-masid kampus karena uang saku tak punya, tadarus hingga larut malam untuk mencari keluarga, hingga parade ngirit membeli lauk saat sahur telah tiba. Lha kok malah curhat.


Dua minggu sebelum Ramadhan tahun ini tiba, saya telah mematangkan rencana untuk menikmati bulan istimewa tersebut dengan keluarga baru saya. Menikmati Ramadhan di Kota Ngawi dengan keluarga besar Pak Yai sangatlah berarti. Di sana saya bisa memperbanyak lagi porsi beribadah, belajar medis maupun agama, hingga menikmati bahagia dengan cara Pak Yai dan keluarga dalam memperlakukan saya. Angan-angan tersebut begitu pekat mewarnai hari-hari pra Ramadhan pasca pulang kampung singkat saya.


***
6 hari yang lalu, 4 Juni 2016 , semua menjadi berubah. Sehari sebelum Ramadhan tiba, saya mendapatkan kabar duka dari keluarga saya. Kakek mengalami kecelakaan.

Keceriaan saya berubah menjadi kekalutan yang sangat luar biasa. Di satu sisi saya baru saja pulang dari rumah dan sungkan rasanya kembali izin kepada Pak Yai untuk pulang lagi. Saya benar-benar tidak ingin menjadi benalu di keluarga baru ini dengan memanfaatkan kebaikan luar biasa dari beliau. Jujur saja, kendala saya untuk pulang adalah biaya. Saat pulang kampung beberapa minggu yang lalu, Pak Yai telah menanggung seluruh biaya saya. Di sisi lain, keluarga di Banyuwangi memberikan kabar bahwa kondisi kakek saya cukup parah. Beliau dikabarkan mengalami patah tulang, penggumpalan darah di kepala, hingga muntah darah. Ada lagi yang mengira bahwa kakek saya meninggal dunia. Pikiran saya menjadi acak-acakan dengan hal tersebut.

Lagi-lagi kebijakan manusia luar biasa seperti Pak Yai kembali membuat batin saya menangis. Dengan tenang dan entengnya, beliau menyuruh saya untuk pulang melihat kondisi kakek. Malam itu, sekitar pukul 9 setelah pasien sepi, Pak Yai menyodorkan lembaran rupiah yang cukup banyak jumlahnya untuk biaya saya pulang. Beliau menghibur saya dengan gaya senyum ramahnya. Setelah mengemasi apa yang perlu saya bawa dan meminta izin kepada keluarga di sana, saya segera pulang. Pukul 10 saya dan bus cepat melakukan perjalanan pertama, Ngawi-Surabaya.


***
Sekitar pukul 3 pagi, saya telah sampai di terminal Purbaya. Saya segera mencari bus dengan rute Surabaya-Probolinggo. Tidak lama menunggu, bus akhirnya penuh dan mulai berjalan. Selama perjalanan, saya merasakan lelah dan kantuk yang teramat sangat. Dari pagi saya belum mengistirahatkan mata satu menitpun. Rute kedua tersebut saya gunakan untuk mengistirahatkan mata yang mulai panas.

Ntah pukul berapa saat itu, saya benar-benar terkejut melihat saku jaket yang saya gunakan telah rusak oleh sayatan gunting atau silet. Begitu berat hati saya melihat bahwa ponsel hasil jerih payah saya selama kuliah telah hilang. Untuk kedua kalinya saya harus menjadi objek copet bus kota. Lemas rasanya. Cobaan yang harus saya lalui begitu bertubi-tubi. Kabar musibah yang dialami oleh kakek saya di rumah harus dibarengi dengan hilangnya alat komunikasi yang sudah banyak membantu saya. Segera saya memberikan kabar kepada semua kontak di hp kecil dan mengamankan akun-akun pribadi yang saya punya.

5 juni pukul 11 siang saya telah tiba di kampung halaman. Saya turun di rumah bu lek karena di Banyuwangi tidak ada siapa-siapa.


***
Sore harinya saya baru bisa pergi ke RSUD Blambangan untuk melihat kondisi kakek saya. Air mata ini tidak tertahankan melihat begitu parahnya kondisi beliau. Tulang rusuk dan belikat terbungkus plaster, wajah dan mulut penuh luka gores, siku dan paha atas luka jahit, jari-jari tangan dan kaki lecet. Saya ingin marah saat itu. Mengapa hal seperti ini terus menimpa saya dan keluarga.
Saya terus memberi semangat kepada kakek saya untuk sembuh. Saya terus mengajak bicara beliau dan menghiburnya.


***
Sungguh Ramadhan tahun ini kembali berbeda. Tidak ada lagi sahur di jalanan dan berbuka di masjid-masjid penyedia takjil gratisan. Ramadhan pertama saya nikmati di lantai 2 ruang kelas III Agung Wilis.

Ruangan tempat kakek saya dirawat berisikan tiga pasien. Satu orang adalah korban kecelakaan dengan patah tulang kaki, sedangkan yang lain kecelakaan akibat tertimpa pohon dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

Selama kakek dirawat, saya dan keluarga mengatur jadwal piket jaga. Saya memperoleh jadwal menjaga kakek dari sore menjelang berbuka hingga pukul 6 pagi. Saya harus melakukan perjalanan Wongsorejo-Banyuwangi-RSUD Blambangan PP setiap harinya. Tiga hari berada di sana, saya terus menunggu kabar bagaimana hasil rontgen bagian radiologi rumah sakit. Kabar bahwa kakek harus menjalani operasi belum juga menjadi nyata.

Hari selasa kemarin, saya begitu terkejut dengan apa yang terjadi. Hari itu saya harus menjaga kakek dari ba’da dhuhur karena keluarga yang lain memiliki urusan. Ketika berada di depan pintu masuk ruangan, tiba-tiba kakek keluar dengan kursi roda diikuti oleh anak lelakinya dan dua orang keluarga saya. Anak lelaki kakek dengan lantang menyuruh saya untuk membawa sisa bantal dan tikar yang masih ada di dalam ruangan. Kakek diperbolehkan untuk pulang.


***
Kejadian kecelakaan yang dialami kakek
Menurut cerita yang dipaparkan kakek, siang hari sebelum kejadian kakek hendak membeli pakan ayam-ayam kesayangan beliau di dekat lampu merah Sukowidi. Tidak jauh dari rumah, kakek hendak menyebrang jalan menggunakan sepeda gayuhya. Saat itu beliau tidak menaiki sepeda itu, karena beliau sadar akan bahaya jika sepeda dinaiki saat menyebrang (apalagi gerak beliau tidak selincah anak-anak di kampung saya). Saat akan menyebrang, beliau melihat ada dua sepeda motor melaju dari arah selatan. Di belakangnya ada truk bermuatan elpiji yang kata kakek sedang berhenti. Setelah kedua motor lewat, kakek segera menyebrang. Ntah mengapa tiba-tiba truk elpiji melaju dan akhirnya menabrak sepeda kakek. Beliau terjatuh dengan kondisi dibawah truk dan masih memegang sepeda gayuhnya.

Dari keterangan kakek, cerita dari orang-orang yang datang silih berganti menjenguk beliau, serta keadaan sebenarnya, saya menyimpulkan bahwa pendarahan yang ada di mulut kakek saat itu berasal dari lecetnya daerah sekita mulut dan pecahnya bibir kakek. Tidak ada gumpalan darah di kepala kakek seperti yang orang-orang isukan. Kakek masih dapat bercerita dengan saya secara jelas. Kakek tidak jadi dioperasi karena luka di tulang rusuknya yang kata orang patah, tidak terbukti. Dari hasil radiologi juga tidak ada tanda keretakan. Mungkin luka yang dominan di daerah rusuk kiri kakek adalah luka gingsir atau kecetit biasa karena benturan dengan besi sepeda kakek.


***
Kini kakek masih terbujur lemah di tempat tidurnya. AC rumah sakit kini telah berganti kipas angin biasa. Peran suster dan dokter kini diambil alih oleh saya dan keluarga.

Hampir sama dengan perawatan almarhum nenek. Kakek kami berikan popok dewasa untuk mengantisipasi ketika kami tertidur saat kakek hendak buang air. Penggantian popok rutin kami lakukan setiap pagi dan menjelang malam hari.

Tugas utama saya di sini adalah menjadi perawat kakek. Pagi, siang, dan malam saya harus menyuapi bubur, mengatur obat yang harus diminum, dan membuatkan susu untuk beliau. Pengetahuan tentang medis dan obat-obatan dari Pak Yai sangat membantu saya di sini. Saya bisa mengetahui kebenaran atau kesalahan obat maupun aturan minum yang diresepkan oleh dokter.

Ntah apakah saya bisa kembali ke Ngawi lagi atau tidak di bulan mulia ini. Sepertinya saya akan menghabiskan Ramadhan di sini. Kalaupun kembali ke barat, setidaknya menunggu hasil ceck up kakek dan dipindahnya beliau ke Wongsorejo, rumah bu lek. Untuk saat ini, saya akan terus berusaha menikmati keadaan di sini.


***
Ada beberapa pelajaran yang dapat saya ambil ketika berada di RSUD. Saya merasakan betapa masih beruntungnya saya menjadi bagian dari keluarga ini.

Pasien di sebelah kakek yang menderita patah tulang, harus dioperasi. Beliau berasal dari keluarga yang benar-benar tidak mampu secara ekonomi. Beban keluarga tersebut terasa berat ketika pelaku yang menabrak beliau juga berasal dari keluarga tidak mampu. Selain itu, penabrak juga mengalami luka parah di kepala. Malam hari sebelum operasi dilakukan esoknya, salah satu korban terlihat sedih. Santunan 600 ribu dari penabrak sangat jauh dari kata cukup untuk biaya operasi yang biayanya tidak sedikit. Parahnya, setiap hari korban hanya ditunggu oleh adik kandungnya seorang diri. Ntah di mana letak hati keluarga yang lainnya.

Pasien lain yang menderita luka di tubuh karena tertimpa pohon juga seperti itu. Ia juga keluarga yang pas-pasan. Ia adalah seorang laki-laki. Di kamar rawat, ia ditemani oleh ibu kandung dan istrinya yang dalam hitungan 22 hari lagi akan melahirkan anak mereka yang ketiga. Hati saya terpukul melihat sang istri duduk di depan pintu kamar sambil menangis menghitung jumlah biaya yang tertera di lembaran-lembaran nota rumah sakit. Sedih saya semakin menjadi tatkala bapak yang terbaring lemah di atas ranjang mengeluh kesakitan sambil memanggil nama istri dan ibunya. Sang ibu terus menangis dan memeluk sang anak. Pemandangan tersebut membuat saya teringat pada beliau, Umi Hariyanti.

Musibah hilangnya alat komunikasi hasil jerih payah saya telah mengajarkan agar saya lebih hati-hati lagi dalam menjaga barang berharga di kendaraan umum. Peristiwa itu mengajarkan bahwa memang tidak ada yang bisa bertahan lama. Seketat dan seomes apapun saya memperlakukan ponsel tersebut, akhirnya raib juga jika waktunya telah tiba.

Hilangnya handphone pintar itu juga bermakna. Andai saja ia ada, mungkin saya tidak akan setotal ini merawat kakek yang sedang sakit. Mungkin konsentrasi saya akan pecah oleh dunia luar di dalam ponsel tersebut.



***

Ramadhan tahun ini berbeda lagi. Awal bula ini keluarga dan saya sedang dilanda musibah. Hanya harapan dan doa semoga di hari-hari selanjutnya apa yang kami rasakan akan berubah menjadi bahagia. Aamiin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Sombong, Rendah Hati, Jujur, dan Munafik

Bosan Sendiri

Keluargaku Pendidik