TIGA ENAM PULUH


Ketika masih menjadi mahasiswa basi, eh mahasiswa baru, keidealisan saya begitu tinggi. Sering sekali saya menyuarakan hal-hal yang berbau idealis untuk menentang fenomena dan orang-orang pragmatisnya. Tidak berhenti di sana, saya juga berupaya menuliskan kritikan-kritikan terhadap bobroknya sekitar melalui mading-mading maupun majalah mahasiswa. Masa masih imut-imutnya waktu itu saya warnai dengan penuh kritik.

Satu hal yang hingga saat ini masih menjadi bahan saya untuk menertawakan diri, yaitu masalah skripsi. Dulu saya menentang keras segala ketidakmurnian, termasuk dalam hal pembuatan skripsi oleh orang lain. Dulu saya membayangkan bagaimana sulit, rumit dan peliknya membuat karya terakhir mahasiswa sebelum wisuda tersebut. Pada akhirnya saya benar-benar merasakan hal yang sudah menjadi bayangan selama 3 tahun, ya ketika skripsi berubah menjadi scriptshit karena segala kesukaran dan keruwetannya. Saya banyak belajar dari masa lalu ketika menghadapi tamu agung tersebut. Tamu yang dulunya serasa menjadi orang bule bagi saya, kini menjadi teman akrab yang senantiasa menemani saya layaknya bermain nekeran di waktu kecil dulu. Ketakutan saya terjawab dengan keberhasilan menakhlukkan hal yang dianggap absurd oleh kebanyakan orang. Saya berhasil menyelesaikannya dengan sangat baik, sangat baik karena baru pertama kali karya saya diminta oleh dosen, apalagi beliau adalah dosen filsafat faforit seorang Tara yang masih sangat miskin ilmu. Hingga saat ini saya mendengar bahwa karya yang saya kerjakan dengan daya maksimal tersebut menjadi rujukan mahasiswa-mahasiswa kampus tercinta yang sedang mengulangi perjuangan masa lalu saya.

Saya menjadi ngelantur di mana-mana. Semoga saya bukan termasuk orang yang sumbing, ralat, sombong.
Saya sekarang sudah tidak ideal lagi. Saya telah berputar 3600 menjadi orang pragmatis. Bagaimana tidak, sekarang skripsi hampir setiap hari menjadi teman saya. Bukan milik saya, tetapi milik para beruang hutan yang memberikan kepercayaan kepada saya. Ntahlah, apakah hal tersebut bisa dikatakan kepercayaan atau proyek dosa. Saya tidak merencanakan sebelumnya untuk menjadi pahlawan (untuk menutup kedok tersangka). Mereka tiba-tiba saja mencari saya untuk memohon pertolongan. Saya juga tidak pernah menyangka bahwa proyek gelap ini juga diminati oleh beruang dari provinsi sebelah, Solo, Jawa Tengah. Dalam urusan ini, saya tidak pernah bisa mengatakan kata-kata penolakan. Pertimbangan saya adalah karena status teman dan status iba karena saya pernah berada di posisi mereka.

Hal yang paling utama melemahkan dan mematikan idealis saya adalah uang. Ya, semenjak beasiswa pemerintah itu selesai masanya, uang pensiun almarhum sebagai penopang hidup saya selama 22 tahun telah berhenti. Keadaan tersebut telah mengubah haluan hidup saya. Yang saya inginkan adalah uang untuk bertahan hidup. Selama saya tidak mencopet atau korupsi, bagi saya pekerjaan yang saya anggap sebagai penolong beruang ini adalah halal. Saya tidak tahu apakah yang saya lakukan ini benar atau salah, tetapi saya merasa bahwa Allah sengaja mendatangkan para beruang untuk meminta pertolongan kepada saya. Ia selalu memberikan kemudahan kepada saya agar tetap bisa menghadapi kerasnya hidup yang sebenarrnya.

Hingga detik ini saya masih dapat menghirup oksigen sebagai gratisan paling berharga. Saya masih tetap bertahan hidup dengan segala kemakmuran. Saya masih bisa makan dengan enak, bisa bertempat tinggal tanpa bayar, bisa jalan-jalan kemanapun saya mau.

Saya saat ini butuh uang. Saya akan terus berjalan tanpa beban untuk memperoleh uang. Saya akan terus berusaha keluar dari keadaan yang sudah 23 tahun saya rasakan. Saya ingin seperti mereka yang dapat tidur dengan timangan orang tuanya. Saya akan terus menentramkan hidup ini dengan uang, uang dan uang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Sombong, Rendah Hati, Jujur, dan Munafik

Bosan Sendiri

SAYA TELAH TERBIASA