MENYIKAPI ILMU
Pada kesempatan ini,
saya ingin menjawab pertanyaan seorang teman baru yang berasal dari Serang,
Banten. Semoga kumpulan kalimat di dalamnya memberikan guna bagi diri saya dan
kepada semua. Minimal bagi penanya.
“Saya memiliki
pandangan bahwa belajar ilmu itu cukup hanya ilmu agama, karena ilmu-ilmu lain
seperti IPA, Matematika, tidaklah dimintai pertanggungjawaban kelak. Tetapi
saya merasa bingung saat ini. Teman-teman saya lebih cepat menyerap pelajaran
di pondok, terutama mengenai hal perhitungan dalam agama Islam. Selain belajar
di pondok, mereka juga sekolah. Jujur, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan
ke jenjang SMA karena pandangan saya yang demikian. Lalu bagaimanakah menurut
mas?”
“Sering
sekali saya melihat bahwa orang yang memiliki pangkat tinggi merasa sombong dan
merendahkan orang-orang di sekitar yang dianggap tidak sebanding dengan
pengetahuannya. Apakah orang yang kaya ilmu selalu seperti itu?”
“Kalau
saya ingin kembali belajar ke sekolah, apakah saya terlambat?”
TENTANG ILMU
Ilmu itu luas. Semua
yang ada di muka bumi selalu menyimpan sebuah ilmu. Bukankah Allah menurunkan
ilmunya di muka bumi? Bukankah Allah telah membagi-bagi ilmu tersebut ke
seluruh jagat raya? Dengan begitu, ilmu tidak hanya diwariskan oleh manusia saja
bukan?
Allah hanya menurunkan
ilmunya di alam semesta seperti ibarat setetes tinta yang jatuh di lautan. Atau
seperti tinta di ujung jari kelingking yang dicelupkan ke lautan.
Perbandingannya adalah 1 : bilangan tak terhingga. Ayo kita bayangkan. Apakah mungkin
terlihat 1 tetes tinta hitam disebar ke lautan yang sangat luas? Ini adalah
kebesaran Tuhan.
Analogi mudahnya seperti
ini. Allah Sang Pemilik Ilmu memiliki ilmu sempurna 100%. Allah hanya
menurunkan ilmunya 1% saja ke bumi untuk disebarkan dan dimiliki oleh siapapun
dan apapun yang ada di dalamnya.
Pertanyaannya,
berapakah jumlah seluruh manusia di muka bumi? Berapakah jumlah hewan yang ada
di dalam bumi? Berapakah jumlah tumbuhan yang hidup di bumi? Berapakah jumlah
benda-benda mati yang ada di bumi? Berapakah luas lautan riil di seluruh bumi?
Luas daratan riil di bumi?
Mungkin untuk
menghitung jumlah tersebut dalam lingkup Indonesia saja kita tidak akan mampu.
Tidak-tidak. Lingkup 1 RT. Atau lingkup keluarga (menghitung batu-batu kecil di
halaman rumah saja kita tidak bisa).
Dengan begitu, jelaslah
bahwa kita tidak memiliki 1% saja ilmu dari Allah. Alasannya jelas, 1% ilmu
yang turun telah terbagi kepada seluruh isi bumi. Lantas apakah kita akan
berpuas diri dan memandang bahwa ilmu hanya berasal dari satu wilayah,
contohnya ilmu agama saja?
Perintah Allah jelas
bahwa kita wajib menuntut ilmu walaupun sampai ke negeri China. Ha? China?
Kenapa harus China? Bukankah negara yang identik dengan Islam adalah Arab? Kenapa
bukan “Arabiya?” Bukankah sudah jelas kalau China negara komunis yang tidak
mempercayai adanya Tuhan? Kenapa?
Ini perintah Allah dan
tidak dapat diganggu gugat! Lihat sekarang bagaimana negara China mulai
bergerak mengerucut menuju negara adidaya.
Dari perintah tersebut
saya mulai dapat membuka diri bahwa ilmu yang Allah turunkan tidak hanya berada
di satu wilayah saja. Mungkin kalau ilmu hanya diturunkan di sekitar Ka’bah,
orang sedunia tidak akan pernah mau meninggalkan Mekkah. Tidak ada antrian untuk
pergi haji. Sekali lagi, “setetes tinta dicelupkan di lautan luas alam
semesta”. Dengan begitu bagian tinta ilmu tersebut bisa ke Indonesia, Amerika,
Arab Saudi, Israel, Spanyol, Italy, dan negara-negara lainnya. Jadi, menurut
saya pandangan menuntut ilmu cukup dalam hal ilmu agama saja sangatlah kurang
bijaksana.
Kamu mengenal Ibnu
Sina? Ibnu Rush serta para jenius cendekiawan Islam lainnya?
Mereka ilmuwan Islam
yang memberi jasa kepada dunia melalui penemuannya di bidang perhitungan
matematika, kedokteran, astronomi, dan ilmu-ilmu lain seperti yang kita
pelajari saat ini. Hebat bukan? Apakah mereka hanya memperdalam ilmu agama
saja? Tidak demikian. Tentu mereka juga mempelajari ilmu dunia yang nantinya
dapat digunakan sebagai bekal amal mereka menuju kehidupan sesungguhnya.
Kesimpulan pertanyaan
pertama:
Tuntutlah
ilmu seluas-luasnya semaksimal mungkin. Janganlah mempunyai pandangan bahwa
hanya ilmu agama saja yang berguna. Kalau kita mau bijak, tuntutlah ilmu agama
dan ilmu di luar itu. Kita akan menjadi orang arif ketika kita kaya ilmu umum
(misalnya matematika, hukum, fisika, kimia, dll) namun berlandaskan atas nilai
agama. Ingat “fiddunya hasanah wafil akhiroti hasanah”. Dunia harus hasanah
(dengan ilmu-ilmu keduniaan), akhirat juga harus hasanah (dengan ilmu agama).
ANTARA ILMU DENGAN
KESOMBONGAN
Menurut saya, sangat kurang pantas seseorang yang berilmu
merasa sombong hingga sampai merendahkan orang lain. Terlebih ketika ia kaya
dan merasa semua berasal dari usaha dan kecerdasannya, bukan dari bantuan orang
lain.
Ingat! Hanya 1% ilmu
Allah yang diturunkan di bumi. Ingat! Kita hanya mewarisi nol nol nol nol tak
terhingga koma dari 1% tersebut. Ingat! Bahwa orang lain juga mewarisi ilmu
dari Penciptanya.
Kalau semua orang
mengingat hal tersebut, kemungkinan untuk berpuas diri dan merasa lebih tinggi
dari yang lainnya tidak akan terjadi.
Sangat jelas. Sepandai
apapun seseorang, ia masih belum bisa dikatakan sempurna karena ia tidak akan
bisa memperoleh ilmu utuh 1% yang ada di dunia. Tidak ada manusia yang
sempurna. Ini teori pasti.
Saya mempunyai dosen.
Beliau seorang profesor dengan ahli hukum tata negara. Namun, kekurangan beliau
adalah gaptek teknologi. Beliau tidak bisa menggunakan laptop dan peralatan
teknologi canggih yang saat ini mulai membumi. Terbukti bukan?
Orang ahli Bahasa
Inggris belum tentu tahu semua hal tentang Bahasa Indonesia. Orang ahli fisika,
belum tentu menguasai biologi. Orang ahli bedah organ dalam, belum tentu bisa
membedah kabel-kabel mesin rakitan. Orang ahli robotika, belum tentu bisa membuat
robot mainan. Orang ahli mengemudi pesawat tempur, belum tentu bisa mengemudi
kapal selam.
Ya begitulah. Jadi
ketika orang merasa tinggi karena ilmu atau kekayaan yang dimilikinya, secara
tidak langsung orang tersebut telah membuat dirinya semakin rendah.
Kalau menemui orang
seperti itu, ajukan satu pertanyaan “Apakah Anda telah menuntut ilmu sampai ke
negeri China?”
Kesimpulan pertanyaan
kedua:
Setiap
orang hanya mewarisi sepersekian dari 1% ilmu yang diturunkan Allah. Dengan
begitu, tidak pantas bagi kita merasa sempurna. Sangat tidak pantas kita
berkata bahwa kesuksesan tidak ada pengaruhnya dari orang lain.
TENTANG WAKTU MENUNTUT
ILMU
Tugas orang hidup
adalah menuntut ilmu sebagai bekal kehidupan yang sesungguhnya. Kapan batas waktunya?
Tidak terbatas, sampai ruh terpisah dari raga.
Masih berhubungan
dengan 1% ilmu yang diturunkanNya di bumi.
PR saya, kamu, dan
semuanya adalah mengumpulkan bagian-bagian persenan yang tersebar di seluruh
jagat raya. Capaian akhirnya adalah 1%. Tapi apakah mungkin dalam 1 atau 50
tahun kita mampu mengumpulkan persenan-persenan tersebut? Kakek saya yang sudah
70 tahunan lebih saja masih di Indonesia, belum ke China. Itu saja belum bisa
keliling Indonesia.
Jadi tidak ada kata
telat untuk menuntut ilmu, karena sesuai dasar falsafahnya bahwa “long life education” yang artinya ilmu
berlangsung sepanjang masa.
Satu hal yang paling
penting. Mari hentikan pandangan bahwa sumber ilmu hanya ada di Sekolah dan
Pondok Pesantren saja. Sekali lagi, ILMU TERSEBAR LUAS.
Karena setiap makhluk
mewarisi bagian persenan ilmu yang diturunkan oleh Allah, maka kita bisa
mencari ilmu kemana pun dan pada siapa pun. Tukang becak, kuli bangunan, pilot,
kusir, masinis, nahkoda, penambang, nelayan, anak kecil, remaja, orang tua, orang
Indonesia, orang asing, orang Muslim, orang Nasrani, orang Hindu, orang Buddha,
orang Khong Hu Chu, dan orang dengan agama serta profesi apapun memiliki
warisan persenan ilmu tersebut.
Bahkan kepada hewan,
tumbuhan, maupun benda-benda mati di seluruh jagat pun kita bisa memperoleh
tambahan persenan ilmu tersebut. Buktinya, anak IPA sering praktek membelah
tubuh katak, anak geografi mencari tahu struktur tanah, anak astronomi
mempelajari bintang, dan kesibukan dengan non manusia lainnya.
Dengan begitu, sekali
lagi kita tidak pantas memandang rendah siapapun
dan apapun karena mereka juga mewarisi persenan ilmu yang diturunkan Allah dan
kita selalu membutuhkan mereka untuk melengkapi persenan yang kita punya.
Kesimpulan pertanyaan
ketiga:
Ilmu
sangatlah luas tersebar di seluruh alam semesta. Tidak ada kata terlambat
karena menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap manusia sepanjang masa. Ilmu
tidak hanya tersedia di lingkungan pondok pesantren dan sekolah saja, melainkan
juga tersebar di mana saja dan oleh siapa pun juga.
Baiklah Saudara, semoga
apa yang bisa saya jawab ini sedikitnya dapat membuka pandangan saya, kamu, dan
orang-orang di sekitar kita untuk menyikapi ilmu. Selalu semangat. Kita
kerjakan PR yang tidak akan pernah habisnya ini, yaitu mengumpulkan
persenan-persenan ilmu yang diturunkan oleh Sang Maha Keren di seluruh alam
semesta untuk melengkapi persenan yang kita punya. 1% berharga.
Komentar
Posting Komentar