BELAJAR DARI SEBUTIR NASI
Tanpa terasa Ramadhan
semakin cepat akan meninggalkan kita semua.
Ingin protes rasanya.
Bulan yang lama dinanti-nantikan, berlangsungnya begitu mengejutkan.
Hari ini saya
menuliskan tentang pengalaman berharga yang saya dapatkan kemarin.
Kemarin sore, seperti
biasa saya menuju ke Muhajirin untuk menanti berbuka (selama di Malang resmi
berbuka tanpa bayar karena uang sekarat). Setelah berjamaah, para pengunjung
selalu membentuk khalaqah yang
terdiri masing-masing 6 orang. Ya, kebiasaan yang banyak memberi kesan dan
benar-benar melatih kesabaran serta kesetiakawanan kita kepada orang-orang baru
yang mungkin kelak akan menjadi kawan.
Tidak seperti biasanya,
kemarin saya berkelompok dengan kawan-kawan yang memiliki karisma agamis. Tidak
masalah.
Singkatnya, kami
berkelompok melaksanakan kegiatan berbuka seperti biasanya, empat bungkus nasi
untuk enam orang. Kira-kira sepuluh menit makan, empat orang keluar dari
kelompok dan hanya menyisakan saya dengan seorang yang tak dikenal. Orang yang
agamisnya lebih karismatik.
Tiba-tiba beliau
mengucapkan kalimat lagi setelah sebelumnya sempat bertukar pandangan dengan
saya tentang agama.
“Lihat mas. Bayangkan
jika 1 orang Indonesia saja tiap hari menyisakan 1 butir nasi, lalu berapa ton
sisa nasi yang terbuang setiap hari dari seluruh jumlah penduduk Indonesia
ini?”
Luar biasa. Saya
terdiam sejenak mendengar pernyataan yang penuh makna tersebut. Kemudian beliau
melanjutkan kata-katanya lagi.
“Ayo mas, itu nasinya
masih sisa. Mubadzir kalau terbuang. Kalau tidak habis sudah pasti kita ingkar
nikmat.”
Memang kami tidak
saling mengenal, tapi pelajaran berharga yang beliau berikan membuat saya
tercuci otak. Tanpa filter, saya pun
SANGAT menyetujui pernyataan beliau dengan mendukungnya lewat kata-kata
penguatan. Setelah kami membersihkan sisa-sisa butiran nasi, kami lantas
berpisah dengan membawa bungkus-bungkus bekas menuju bak sampah yang tersedia.
Sepanjang perjalanan
menuju tempat kos, pikiran saya tidak bisa lepas dari pengalaman tersebut,
hingga saat tulisan ini termuat dalam kumpulan sampah kata-kata saya.
BEGINI YANG DAPAT SAYA
SAMPAIKAN
Saya begitu tertarik
dengan kata “lalu, berapa ton sisa nasi yang terbuang setiap hari dari jumlah
penduduk Indonesia ini?”. Pernyataan yang lantas membungkam saya untuk menyadari
betapa masih jauhnya saya dari kesempurnaan. Masih sering sekali saya
menyisakan butiran nasi ketika saya terburu-buru makan untuk mengerjakan
sesuatu. Masih sering juga saya membuang makanan dari bu kos hanya karena perut
telah terisi penuh.
Dari kata beliau, saya
berusaha memikirkan relevansinya dengan kondisi negara tercinta ini.
Sungguh kita semua
sudah mengetahui bahwa jumlah penduduk di negeri ini sedang berlomba-lomba
untuk menuju ke urutan teratas. Jumlah yang terus bertambah setiap tahun, seolah-olah
terus menekan batas-batas teritorial negeri.
Kembali ke sebutir
nasi.
Bayangkan saja jika
seandainya satu orang menyisakan sebutir nasi setiap makannya, berapa banyak
sisa butiran nasi yang akan terkumpul setiap harinya? Dalam taksiran bulan
Ramadhan saja mungkin kita akan sulit menghitungnya. Bagaimana di luar bulan
puasa? Bayangkan, jika 1 orang menyisakan 1 butir nasi untuk satu kali makan.
Hitungan ideal per hari adalah tiga kali makan. Berarti, setiap hari 3 butir
nasi dihasilkan untuk satu orang. Kalikan dengan seluruh jumlah penduduk di
dalam negeri yang mulai dapat mengonsumsi nasi. Angka yang fantastis bukan?
Belum lagi, apakah yakin per orang hanya menyisakan satu butir nasi saja?
Bagaimana dengan mereka yang membuang setengah piring nasi hanya karena tidak
selera dengan lauk pauk yang dimasak oleh ibunya?
Jika misalnya per hari
butir nasi yang bisa terkumpul bisa mencapai 1 ton saja di seluruh Indonesia,
berapa keluarga miskin yang bisa makan dari sisa butir nasi yang kita sia-sia?
Sungguh jika dirasakan
semakin jauh, saya sangat durhaka pada diri saya, pada orang sekitar saya,
terutama kepada Allah pencipta kita semua. Terlebih saya bisa menggeneralisasi
bahwa negara ini masih durhaka dengan nikmatNya.
Allah telah berjanji
(janji Allah mutlak selalu ditepati) bahwa barang siapa yang bersyukur maka
Allah akan menambah nikmat yang telah Ia berikan, namun siapa yang kufur maka
Allah menjanjikan siksa yang amat pedih.
Menyisakan sebutir nasi
merupakan kekufuran di balik jumlah penduduk miskin Indonesia yang pada tahun
2015 diperkirakan sebanyak 12,25 % dari total penduduk atau 30,25 juta jiwa
(Republika.com). Sungguh kita masih kufur. Seharusnya kita bersyukur atas
nikmat makanan yang diberikanNya. Kita wajib bersyukur dengan cara menghargai
setiap jerih payah petani dalam mengubah satu butir gabah menjadi sebutir
beras, kemudian ibu mengubah berasnya menjadi nasi.
Kita sungguh masih
kufur. Akibat tindakan yang hampir rutin kita lakukan, tanpa disadari kita
merasakan ada banyak perubahan.
Indonesia adalah negara
besar. Jutaan atau bahkan miliyaran hektar sawah terbentang dari ujung barat,
timur, utara, hingga selatan. Indonesia dulu, ketika orang tua kita masih
sering memarahi kita jika ada butir nasi yang tersisa, masih disebut sebagai
Macan Asia. Indonesia dulu masih identik dengan negara lumbung padi.
Sekarang? Mungkin
keadaan ini akibat dari tabungan kita yang gemar menyisakan sebutir nasi, dari
dulu hingga sekarang. Bukankah Indonesia juga mematenkan istilah
“sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit?” Mungkin jika saat ini kita bisa
melihat bentuk nyatanya, berapa tinggi gunungan nasi sisa kita? Jahat sekali
bukan? Padahal Allah dari dulu selalu menganugerahkan negeri ini dengan
mengayakan dan memproduktivitaskan hasil tanaman padi para petani dalam negeri.
Kita kufur. Akibatnya nikmat tersebut makin hari kian berkurang. Coba
rasionalkan. Negara yang katanya besar dan sangat luas ini kini tidak mampu
mencukupi kebutuhan beras dalam negeri secara mandiri. Kebiasaan impor beras
dari negeri tetangga yang lebih kecil kian menjadi-jadi.
Apakah ini sebuah
peringatan nyata dari Yang Kuasa?
Oh sungguh saya
benar-benar menyadari betapa kufurnya saya akan nikmat Allah melalui sebutir
nasi. Karena ulah saya, negeri ini menderita. Karena hal kecil yang sering saya
anggap sepele, negeri ini kian merintih, meraba-raba penghasil beras
negara-negara sebelah.
Terima kasih saudara,
Anda telah mengajarkan saya tentang betapa pentingnya kesadaran untuk
mensyukuri nikmat Tuhan dari hal yang terkecil dan tersederhana. Sekarang saya
akan terus berbenah diri melalui pelajaran yang maha keren ini, belajar dari
sebutir nasi.
Komentar
Posting Komentar