De Jure Kemerdekaan Republik Indonesia
18 Agustus, merupakan hari yang sangat menentukan arah keberlangsungan komitmen pengukuhan Kemerdekaan Indonesia. 71 tahun yang lalu, tanpa adanya 18 Agustus mungkin Teks Proklamasi yang telah didengungkan oleh Bapak Ir. Soekarno ke seantero negeri tidak akan memiliki arti. Hari ini. Pengakuan secara De Jure Kemerdekaan Negara Republik Indonesia telah terjadi. Secara hukum Indonesia telah diakui kedaulatannya dengan dipilihnya UUD NRI 1945 sebagai konstitusi negara dengan dasar falsafah Pancasilanya.
Pekerjaan rumah negara dan bangsa ini masih banyak. Negara tercinta belum sepenuhnya merdeka, terutama oleh belenggu bangsa sendiri.
Dari sisi konstitutional misalnya. Kita masih sering menjadi korban undang-undang dan berbagai kebijakan yang saling bertentangan maupun tumpang tindih dengan konstitusi dasar, terutama ruh luhur Pancasila. Masih banyak produk hukum negara ini yang belum sepenuhnya mengena kepada cita-cita luhur bangsa. Pun dengan kebijakan-kebijakan yang dinilai belum sepenuhnya pro terhadap rakyat, terutama rakyat kecil. Sudah saatnya bangsa kita semakin cerdas dalam membuat kebijakan. Sudah saatnya kita mengubur dalam-dalam berbagai modus dari orang dalam ketika penyusunan undang-undang. Kita perlu mematikan keegoisan kelompok tertentu, terutama pribadi. Berapa jumlah undang-undang maupun peraturan lain yang dinilai masih belum memayungi kepentingan seluruh elemen? Saya yakin Anda semua sudah tahu. Salah siapa? Kita semua salah. Bukan saatnya lagi saling menyalahkan. Kita harus segera berbenah diri, apalgi pergeseran lempengan modernitas dan mobilitas teknologi semakin menjadi.
Dari sisi pendidikan dan kebudayaan, kita sepertinya mulai prihatin. Di berbagai media saya maupun Anda semua pasti sudah familiar dengan kabar melorotnya muatan luhur bangsa yang sejatinya luhur ini. Pemerkosaan berjamaah, tawuran aparat dengan sipil, gelut di gedung parlemen, pembunuhan sadis, dan peristiwa hangat lainnya seolah selalu menghiasi layar televisi kita sehari-hari. Kasus terbaru yang membuat saya sangat prihatin misalnya, penganiayaan oknum guru oleh wali murid karena tidak terima anaknya dijewer. Lucu bukan? Di mana kecerdasan orang tua di era saat ini? Era dulu berbeda, namun lebih bijaksana dan dewasa. Ketika guru marah karena saya salah, saya tidak akan berani lapor kepada orang tua untuk menghindari marah susulan dari orang tua kepada saya. Anda semua pasti sudah bisa menilai bagaimana semakin merosotnya kebudayaan luhur kita.
"Ah, hanya mitos. Tidak ada yang luntur dari bangsa ini, terutama kebudayaan. Banyak kok pelajar kita yang selalu memikat luar negeri dengan kebudayaan maupun prestasi pendidikan yang kita punya."
Pendidikan dan kebudayaan tidak melulu berbicara masalah tari tradisional, bahasa lokal, makanan khas, atau prestasi olimpiade bidang studi, bung. Membuminya istilah cabe-cabean, terong-terongan bahkan lidi-lidian yang saat ini populer di tengah para terpelajar bangsa ini bisa kita jadikan indikator penurunan kadar budaya loh. Bahasa para terpelajar yang mulai njambal juga semakin parah, kan?
Dari segi apa lagi ya. Masih banyak kok, misalnya kesehatan, ekonomi, HAM, hankam, dan lain-lain. Kalau kita koreksi detail, banyak hal yang perlu kita benahi dari berbagai bidang tersebut.
***
Pada intinya, tulisan ini saya buat bukan untuk menghakimi negara yang besar ini. Bukan maksud saya untuk menguak aib-aib bangsa sendiri.
18 Agustus adalah hari bersejarah yang patut kita jadikan acuan untuk membenahi bangunan mewah bangsa iini. Baik De Facto maupun De Jure, bukanlah gombalan belaka. Dua istilah tersebut merupakan semangat bagi bangsa kita untuk berbenah diri, kemudian bergerak maju.
Indonesia tercinta telah menunjukkan kehebatannya di seluruh penjuru dunia. Di usia ke 71 ini nama harum Bumi Pertiwi semakin membumi. Saya sebagai bagian dari bangsa agung ini turut bangga atas berbagai capaian yang telah berhasil Indonesia raih.
Saya ingin menegaskan. 18 Agustus ke 71 ini adalah lecutan bahwa konsitusi UUD NRI 1945 dan Pancasila merupakan pakem yang sudah sangat sesuai di Bumi Nusantara. Kesempatan Bulan Agustus ke 71 ini telah menjadi bukti bahwa bagaimanapun Bhinneka Tunggal Ika maupun NKRI adalah harga mati.
***
Terima kasih Indonesia. Kau telah mendengarkan keluhan kami. Melalui seorang Presiden yang bijaksana, Engkau telah mengobati kekecewaan salah satu putri terbaik negeri. Terima kasih telah memberikan kesempatan kepada Gloria Natapradja Hamel untuk melanjutkan mimpinya.
Selamat Indonesia!
Selamat untuk Pasangan Ganda Campuran Indonesia, Tantowi Ahmad dan Liliana Natsir!
Di ulang tahunmu ke 71 ini, nama harummu kembali menggema di luar negeri. Bendera Merah Putih kembali berkibar di luar negeri. Lagu Indonesia Raya akhirnya berkumandang dengan jantan dan tegas pada perhelatan Olimpiade Rio 2016. Ini hadiah untukmu melalui atlet terbaik negeri.
Hadiah tersebut sepadan dengan sikap baikmu terhadap polemik status seorang Gloria. Emas olimpiade adalah bukti betapa namamu tidak akan pernah luntur oleh siklus perubahan waktu.
Komentar
Posting Komentar