BEKERJA ATAU PUNYA UANG?
Sebentar lagi 10 hari
kedua di bulan mulia akan meninggalkan kita semua. Mungkin, tidak lama lagi
kemajuan jamaah di masjid-masjid akan terlihat, yaitu semakin maju shafnya. Semoga saja Ramadhan tahun ini
akan ada perubahan perilaku dan kebiasaan dari saudara-saudara saya.
Sebetulnya belum afdol membicarakan Idul Fitri sebelum
masa-masa mepetnya tiba. Tak apalah,
tulisan ini tidak akan membahas bagaimana seluk beluk hari besar yang memang
selalu menjadi buah bibir masyarakat dunia, bahkan ketika Sya’ban masih
menjalani masanya.
Menurut saya, semakin
ke sini hari raya ‘Aidil Fitri semakin kehilangan ruhnya.
Dulu, hari kemenangan
tersebut sangat kental dengan aura kuat kemenangannya. Dari hari pertama hingga
minimal Haplus Tujuh, tradisi bersilaturahim dulur-dulur terus terselenggara. Rumah-rumah seolah tidak pernah
menutup mulutnya untuk menyambut tamu yang hendak mampir untuk saling meminta maaf atau sekadar mencicipi kripik mlinjo lengkap dengan sirup
marjannya. Langgar-langgar di kampung
saya dan sekitarnya misalnya. Gema takbir seolah tidak mau berhenti sebelum
Syawal pergi. Isya’, subuh, dhuhur, ashar, maghrib, suasana kemenangan begitu
terasa dan menyejukkan hati.
Sayangnya, beberapa
Idul Fitri yang lalu tidak demikian. Ntah memang karena tradisi sakral Ramadhan
telah dianggap sebagai angin lewat atau seperti apa, saat takbir tiba semua
orang terasa biasa-biasa saja. Bagaimana tidak biasa-biasa saja, lha wong jumlah kaki ghaib di warung-warung pinggir jalan saat
Puasa semakin bertambah. Mau minta sakral bagaimana kalau jumlah Jama’ah Pasar Senggol di tiap malam
puasa semakin banyak jumlahnya. Mau merasakan kemenangan agung yang seperti apa
to kalau saat takbir mulai
berkumandang, para pelaku kemenangannya sibuk berburu diskon pakaian dan
tawar-menawar urunge kupat lebaran?
Beberapa Idul Fitri
yang lalu di kampung saya, lebaran terasa hampa. Tradisi bersalam-salaman
mengelilingi kampung hanya berlangsung singkat. Keesokan harinya setelah hari
utama, pintu-pintu tetangga banyak yang sudah tertutup rapat. Ada yang
bersilaturahim ke rumah saudaranya yang jauh, ada yang meluncur ke
tempat-tempat wisata, atau mungkin ada yang sengaja menutup rumah untuk
menikmati sisa ketupat yang masih ada (kebacut
lek).
Wes
wes wes. Kok saya malah keluar dari judul.
Bekerja atau punya
uang?
Pertanyaan tersebut
merupakan pernyataan polemik yang akan saya angkat pada kesempatan kali ini.
Masih ada hubungannya dengan tradisi Hari Kemenangan, hal tersebut semakin
menjadi tren yang perlahan meracuni kemurnian dari kebiasaan saling
bermaaf-maafan. Dulu tradisi bermaaf-maafan adalah hal yang sangat murni. Saat
saya masih kecil, semua orang yang bertatap muka dalam satu forum di meja bakso
memiliki tujuan murni, yaitu saling memohon maaf atas kekhilafan yang mereka
lakukan selama berada di luar Bulan Syawal. Ya, meskipun ada embel-embe takut kehabisan semangkok
bakso dan segelas es campur tapi kemurnian memohon maaf masih kental.
Tradisi meminta maaf
beberapa tahun terakhir semakin menjadi tujuan sekunder dari hakikat Idul
Fitri. Muncul budaya baru di kampung saya, yaitu saling adu gengsi menanyakan
kesuksesan karir. Kalau adu gengsi harga dan warna cat rumah sudah biasa ya,
tapi kalau adu gengsi masalah kerja itu sedikit bagaimana gitu. Mungkin tujuan
bagi para penanya baik, memberikan perhatian dan ingin menjalin atmosfer
keakraban yang lebih. Namun bagi beberapa pihak objek introgasi, kadang hal
tersebut bisa berubah menjadi pertanyaan yang sedikit menyinggung perasaan.
Ntah hanya saya atau ada lagi yang punya pemikiran seperti itu, semoga kita
sehati. Iya, kamu yang dengan iseng atau sengaja nimbrung untuk mengikuti
ulasan ini.
Tahun lalu saya sangat
aman dengan pertanyaan tersebut. Baru lulus kuliah, sudah kerja di sebuah
lembaga pembuatan media pembelajaran online
SMA yang telah bekerja sama dengan 3 negara, rasanya cukup untuk sangu
menjawab apabila pertanyaan sudah kerja di mana terlontar. Katanya, kalau kita
sudah bekerja di tempat yang membuat telinga tetangga iri, pamor keluarga semakin
terangkat. Apalagi kalau pulang kampung membawa mobil, ntah hasil pinjam atau
sewaan, kita dianggap sukses dan menjadi kebanggan warga kampung. Penting ya?
Lalu di mana kalian buang ruh Idul
Fitri yang sudah sejak awal Ramadhan kita bicarakan?
Tahun ini mungkin saya
tidak aman lagi. Awal tahun kemarin saya memutuskan untuk keluar dari tempat
yang telah mengajari saya PD menjelaskan materi di depan kamera produksi. Saya
memilih untuk tidak ikut-ikutan seperti teman seangkatan yang berusaha menutup
tubuh dengan jas-jas mewah kantornya. Setelah bersyariat di Banyuwangi dan
bertariqat di Malang, saya memutuskan untuk memilih jalan berhaqiqat di Ngawi.
Pentingkah? Sangat. Keterbatasan saya dalam tahu membuat saya memutuskan untuk
berbenah diri. Lagi pula hidup hanya satu kali. Tidak akan berguna jika saya
hanya adu benar dan adu suci di lapangan syariat, biarkan mereka saja. Di sana
saya hanya membantu Pak Kyai sebisa yang saya mampu. Saya belum bekerja, karena
memang perintah sabar dan motivasi dari beliau lebih membuat saya optimis bahwa
saya akan mencapai tujuan. Saya tidak bekerja seperti teman-teman yang mulai
menggelar pameran selfie untuk
menunjukkan betapa suksesnya mereka saat ini.
Semoga Idul Fitri tahun
ini kembali bersatu dengan hakikatnya. Semoga tradisi bermaaf-maafan itu
kembali murni. Kalaupun pertanyaan seperti tahun lalu kembali menyapa, saya
sudah siap untuk menjawabnya. Lagi pula, keluarga seperti apa yang harus saya
angkat pamornya? Wong keluarga saya
sudah tidak ada, toh mereka tahu
bagaimana saya. Mungkin juga tahun ini saya tidak akan berhari raya di rumah
karena Anang sedang berada di rumah
Bu Lek, otomatis saya berhari raya di sana. Jelas, tetangga bu lek yang tidak
begitu mengenal saya dengan baik tidak akan cawe-cawe
seperti tetangga dan para fans di rumah :D. Saya aman. Allah telah menata semua
begitu indah. Di balik musibah yang menimpa kakek di awal bulan ini tersimpan
hikmah yang sangat istimewa.
Ntah apa yang ada di
pikiran kita selama ini. Pertanyaan kerja seolah menjadi bumbu di setiap forum
mulia, seperti hari raya misalnya. Tema bekerja sudah seperti jamuan wajib
sebelum tamu menikmati hidangan musiman saat lebaran tiba.
Memang apanya yang
dicari dari status orang yang sudah bekerja? Gengsi?
Bukankah muara anak
sekolah dan orang yang banting tulang untuk bekerja adalah menghasilkan rupiah
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya? Bukankah jabatan ada hubungannya dengan
uang? Bukankah uang yang bermanfaat itu tidak akan muncul menjadi emas-emas
kintalan dan kain-kain sutra harga jagoan untuk ajang pameran?
Kalau kesimpulannya
adalah menanyakan pekerjaan untuk mengetahui apakah memiliki uang simpanan, ya
sederhana saja kalau ingin bertanya. Tinggal merubah saja, jangan menanyakan
kerja apa, di mana, sejak kapan, bagaimana, berapa gajinya, dan tetek bengek lainnya, kesimpulannya
hanya satu kan yaitu punya uang atau tidak. Kalau memang itu pertanyaan
kuncinya, kelak tanyakan kepada saya.
Kalau saya sudah punya
uang, bisa beli makan, pakaian dan bepergian walaupun tidak perlu ngoyo cari spot selfie di kantor atasan, mlototin komputer sehari semalam, matun seharian, atau nguli tiap malam, lalu untuk apa sampean tanya saya kerja apa dan
lain-lainnya? Nanti juga akan muter-muter
ke uang juga kan pada akhirnya?
Komentar
Posting Komentar