MENYIKAPI FENOMENA HAMIL DULUAN


Kemarin malam saya mendapatkan pertanyaan dari teman yang menggelitik untuk saya jawab.  Sulit memang menempatkan diri ketika memperoleh pertanyaan tersebut. Oke, langsung saja karena saya tau kamu orangnya agak grusah-grusuh nggak sabaran.

“Menurut pandanganmu, bagaimanakah menyikapi pelajar siswi yang hamil ketika masih usia sekolah? Apakah ia pantas untuk dikeluarkan oleh pihak sekolah karena ia membawa aib bagi lembaga pendidikannya?”

Sembari menyeruput kopi, saya ingin memberikan kesempatan kepada kamu terlebih dahulu untuk menjawab pertanyaan teman saya tersebut. Iya, kamu yang membaca postingan ini. 10 menit dari sekarang, mulai!

......................................................................................................................................................

(10 menit kemudian)

Terima kasih atas kesediaan komentarnya.

Baiklah, saya ingin mencoba melaporkan hasil jawaban saya semalam yang sayang kalau tidak saya abadikan.

Umumnya, sebagian besar lembaga sekolah akan menindak siswi tersebut dengan mengeluarkannya dari sekolah. Alasannya tidak lain tidak bukan adalah malu. Kasus hamil duluan dianggap dapat merusak citra sekolah di mata publik dan yang paling penting dianggap dapat merusak akreditasi sekolah. Hubungannya? Rumit.

Ada yang hilang dalam institusi pendidikan jika semua kasus serupa dihakimi dengan hukuman yang sama. Mengapa?

Pertama, Jelas-jelas negara ini telah memiliki pakem yang kuat, yaitu hijrah dari wajib belajar 9 tahun menjadi 12 tahun.  Seharusnya kita memegang erat hal tersebut agar dalam berpendidikan kita tidak keluar dari jalur yang sudah ditetapkan. Tugas sekolah bukanlah memperkaya rasa malu seperti negara yang tidak mampu mengelola dengan baik sumber dayanya. Tugas sekolah hanya satu, mendidik.

Lalu, bagaimana jika yang hamil duluan masih berstatus siswi kelas 7, 8, 9, 10, atau 11?

Seperti sistem pada pendidikan tinggi. Menurut saya jika masa kehamilan siswi tersebut masih tergolong aman (kisaran 1 hingga 6 bulan), sekolah tetap menampung siswi tersebut untuk terus mengenyam bangku pendidikan. Jika telah masuk usia ke 7 hingga ke 9, siswi tersebut diberikan cuti oleh sekolah. Atau ketika siswi terindikasi hamil, maka sekolah memberikan cuti kepada siswi bersangkutan untuk menyelesaikan masa kelahiran bayi hingga ia siap untuk bersekolah kembali (tentunya tanpa paksaan dari pihak manapun). Kalau ia telah menyelesaikan tanggungannya, ia diberikan kebebasan untuk melanjutkan sekolah kembali atau bagaimana.

“Apa alasanmu berkata seperti itu? Bukankah dengan begitu kamu melegalkan hamil di luar nikah dan memancing maksiat agar terus lestari?”

Tunggu dulu, jangan main emosi. Saya rasa semua orang setuju kalau agama tidak pernah membenarkan adanya fenomena hamil duluan. Saya juga ingin mengajak kamu berfikir bahwa ada banyak faktor mengapa siswi bisa terjangkit virus yang mulai mainstream, yaitu hamil duluan. Ada yang memang suka main, ada yang sengaja dijebak, ada yang begini, begitu, dan ada-ada saja.

Kamu tentu sepakat bahwa fenomena yang katanya degradasi moral tersebut dapat diobati dengan pemahaman tentang nilai-nilai agama. Kamu juga tahu bahwa pendidikan moral yang dapat mengena bagi generasi penerus bangsa maupun para pelaku hamil duluan salah satunya diperoleh dari jenjang sekolah. Apakah logis jika kita grusah-grusuh mengeluarkan siswi hamil duluan tanpa mengetahui bahwa dia adalah korban atau tersangka? (karena saksi tidak mungkin ikut hamil).

Kedua, tugas negara dan kita semua adalah memanusiakan manusia dengan segala kelengkapan ideal yang wajib dimilikinya. Dengan sekolah mengeluarkan siswi hamil duluan, berarti sekolah terutama negara telah gagal dalam menyelesaikan kewajibannya untuk mencerdaskan anak bangsa. Dengan begitu, negara telah melanggar pakem yang telah digembor-gemborkan ke seluruh pelosok desa.

Ketiga, siswi yang bermasalah tersebut tidak boleh dikucilkan atau dihakimi dengan tumpukan dosa dan hina oleh ukuran manusia. Lha wong Gusti Pengeran ing kang gadhah kuasan kangge nyepunteni kelepatan tiang. Tugas sekolah adalah terus memberikan pendidikan-pendidikan yang penuh dengan muatan moral untuk menyadarkan bahwa tindakan siswi tersebut tidak dibenarkan. Sekolah berkewajiban untuk terus memperkaya kognisi siswi tersebut agar tidak mengulang hal terlarang itu di kemudian hari. Sekolah wajib mendewasakan pemahaman siswi hamil duluan tersebut agar kelak ia dapat membentengi adek-adek kelasnya dari tindakan yang pernah ia alami. Bukankah begitu kewajiban sekolah?

Keempat, saya menemukan bahwa banyak sekali para pelaku hamil duluan yang pernah dikeluarkan oleh sekolah malah tidak menjadi lebih baik. Sebagian besar mereka berpindah ke dunia yang lebih gelap daripada kembali ke jalur yang semestinya, alasannya jelas, karena mereka telah dikeluarkan dari jalur yang seharusnya mereka lewati. Mereka merasa hina karena tidak ada institusi yang mencoba untuk dewasa dan hanya memikirkan akreditasi sekolah. Coba kamu survey, berapa jumlah purel yang memiliki masa lalu karena menjadi korban. Jika dulu sekolah tidak asal mengeluarkan siswinya yang dianggap membawa aib tersebut, mungkin ia tidak akan menjadi wanita tuna susila. Mungkin mereka akan memiliki posisi yang sama seperti wanita pada umumnya.

Kelima, kita masih terkurung dengan kalimat mati. Padahal masa lalu yang buruk belum tentu membawamu kepada masa depan yang buruk pula. Sekolah hendaknya mulai menambahkan kalimat tersebut untuk dipajang di dinding-dinding kelas maupun taman-taman hijaunya.

Jadi, pernyataan saya bukanlah dengan maksud agar maksiat semakin legal. Tidak begitu. Buktinya dengan sistem pencopotan dari jabatan siswa yang masih memiliki hak dicerdaskan oleh negara seperti sekarang, kondisi hamil duluan tidak malah berlaku surut tapi malah berprogres naik bukan? Para siswi hamil duluan tidak boleh dikucilkan dan diputuskan dari rantai-rantai kehidupan. Mereka harus terus mendapat binaan agar mereka mampu berpindah dari keburukan menuju kemuliaan. Hijrah yang sebenarnya adalah itu. Sekolah harus terus mencerdaskan mereka dengan mencari alternatif sebaik mungkin agar kewajibannya tidak cacat. Bukankah pendidikan telah memberika kode keras kepada sekolah bahwa pendidikan tidak boleh menjadi anak tiri bagi pihak-pihak seperti mereka? Bukankah kewajiban belajar 12 tahun untuk semua orang tanpa mengenal kondisi, kasta, dan usia?

Terakhir. Jangan sensitif dengan pemahaman saya, karena saya hanya mampu memandang sebuah fenomena dari sudut pandang saya. Pada akhirnya saya sangat setuju bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati. Sebelum fenomena hamil duluan menjadi jamur di musim hujan, adakalanya sekolah menyediakan ramuan obat mujarab agar akar-akar jamur yang telah tercabut tidak semakin menyebar ke kayu-kayu lapuk berikutnya.

Bagaimana menurutmu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Sombong, Rendah Hati, Jujur, dan Munafik

Bosan Sendiri

SAYA TELAH TERBIASA