MANUSIA GULA
Ada dua manusia yang
saya kagumi saat ini.
Pertama
adalah
seorang kyai nyentrik yang berada di
kabupaten ujung barat provinsi tempat saya dilahirkan, Ngawi. Beliau merupakan
kyai yang memiliki posisi tingkat tinggi. Bagi yang percaya, beliau sudah
berada di tingkat hakikat. Hari-hari beliau sangat bermanfaat bagi orang
banyak. Setiap hari, beliau membantu masyarakat dalam memecahkan masalah yang
mereka miliki. Tidak hanya masalah, beliau dengan izin Allah juga mampu
mengangkat penyakit pasien yang datang dengan metode yang tidak akan kamu
temukan di manapun. Beliau adalah kyai tercerdas yang pernah saya temui. Masalah
penampilan? Saya tidak pernah melihat beliau memakai sorban yang panjangnya
hingga mampu untuk membersihkan halaman satu hektar. Beliau tidak pernah
menunjukkan siapa dirinya. Beliau tidak berkoar-koar bahwa ia adalah Kyai
besar. Beliau tidak gila dengan urusan duniawi, termasuk jabatan dan posisi di
mata manusia. Bahkan yang membuat saya semakin takjub adalah kebiasaan beliau
yang suka membaur tanpa membedakan status, termasuk saya yang hanya berstatus
sebagai teman dari putranya.
Manusia kedua adalah teman mas Irul. Beliau merupakan
mantan anak punk seperti yang bisa
kalian temukan di jalanan. Beliau saat ini telah berubah menjadi seorang
pengusaha yang dapat dikatakan memiliki prospek cerah. Yang membuat saya kagum
terhadap beliau adalah wawasannya. Meskipun baru bertemu satu kali, saya telah
mampu menilai betapa kaya ilmu beliau berkat pengalaman luasnya. Dalam
kesempatan pertama, saya bersama dengan mas Irul menanyakan tentang bagaimana
pandangan beliau tentang hakikat Tuhan dan agama. Andai saja kamu ada di
sebelah saya saat itu, tentu kamu akan merasakan merinding seperti apa yang
saya rasakan. Beliau mampu menjelaskan secara detail kepada saya hingga mampu
membuat pikiran saya lebih terbuka. Berdasarkan pertemuan malam itu, saya
semakin kagum karena beliau memiliki pengetahuan tentang filsafat Jawa yang
sangat lengkap dan cerdas. Masalah penampilan? Kamu pasti sudah bisa mengira
bagaimana beliau berpenampilan. Ya, beliau selalu sederhana dalam berpenampilan
dan tidak pernah menunjukkan betapa kayanya pengetahuan beliau ke mata publik. Beliau
hanya akan membagikan wawasannya kepada lawan bicara kebetulan seperti saya dan kepada perkumpulan kecil filsafat Jawa
yang beliau pimpin.
Secara awam, tidak ada
yang sempurna dan istimewa jika kamu melihat keduanya. Keduanya sama-sama
berpenampilan nyeleneh dan tidak
pernah berkoar-koar tentang siapa dirinya. Andai orang awam seperti saya tidak
pernah mengetahui siapa keduanya, mungkin saya bisa menganggap remeh mereka
berdua.
Pada kesempatan ini
saya mencatat pelajaran hidup yang sangat berharga berdasarkan dua paragraf
pembuka. Orang pertama yang saya kagumi telah membuka pikiran dan wawasan saya
bagaimana seharusnya menyikapi hidup.
Sebentar...
Beri kesempatan kepada
saya terlebih dahulu untuk meneguk segelas susu putih hangat dini hari ini. Terima
kasih.
Pak Kyai mengatakan
bahwa “sebenarnya hidup yang keren
adalah bagaimana kita bisa menjadi seperti gula”.
Mendengar pernyataan tersebut, otak saya yang masih terlalu miskin belum bisa
mengartikannya. Sampai pada akhirnya saya dapat menangkap semua penjelasan
beliau hingga dapat saya tuliskan di media ini.
Ya, hidup yang lebih keren, arif, bijaksana, atau
apalah-apalah adalah bagaimana kita bisa meniru filosofi gula. Kamu tahu gula kan? Apakah kamu pernah minum kopi
manis? Teh manis? Atau pernah makan kue yang rasanya manis, misalnya bolu? Apakah
ketika minum kopi manis atau teh manis kamu akan menyebutnya wedang gulo? Apakah kamu bisa melihat
bagaimana wujud gula di dalam secangkir kopi dan segelas teh yang sudah larut
dengan air hangatnya? Apakah kamu bisa melihat gula dengan wujud utuh ketika
kalian memakan kue bolu? Mengapa kamu tidak menyebutnya saja kue gula, kan rasanya manis?
Manusia sejati adalah
mereka yang tidak pernah menampakkan apa yang mereka miliki di muka umum,
seperti gula yang tidak pernah menampakkan wujudnya pada secangkir kopi. Meskipun
para penggila cangkrukan menyebutnya
hanya kopi, gula tidak pernah melayangkan tuntutan. Hingga saat ini, semua
manusia tahu bahwa yang mengakibatkan wedang
kopi manis itu adalah gula, bukan senyumanmu. Begitu pula manusia, ia akan
lebih bermakna jika perannya bagi orang sekitar tidak ditampakkan dan hanya
dapat dirasakan manfaatnya. Manusia akan lebih bermakna bila ia tidak
mengutamakan koar-koar untuk
menunjukkan siap dirinya, seberapa penting dirinya, seberapa alim dirinya,
seberapa hebat dirinya, seberapa sukses dirinya, dan sebagainya.
Manusia memang harus
seperti gula. Gula manis yang benar-benar gula, bukan sarkarin atau siklamat,
bahkan senyuman.
Sayangnya, saya merasa
bahwa diri yang hina ini masih belum bisa menyebut teh manis dengan benar. Saya
masih sering menyebutnya banyu gulo. Sedikit-sedikit
saya masih suka menunjukkan siapa diri saya.
Saya juga sering
melihat masih banyaknya manusia berlevel banyu
gulo yang berkeliaran. Tidak jarang saya temui masifnya parade dakwah yang
berbau pameran tahta. Saat ini saya
kesulitan membedakan mana dakwah mana riya’, seperti sulitnya melarutkan antara
kopi dan gula dengan air biasa. Saat ini saya menilai bahwa hal-hal yang berbau
religi perlahan berubah menjadi ladang promosi diri. Semua berlomba-lomba untuk
terlihat hebat dengan kemasan kealiman yang beranjak naik karena penilaian teman.
Apakah mungkin fenomena
yang menjadi keheranan saya sekarang dikarenakan oleh semakin langkanya gula original? Apakah benar yang dikatakan
Cak Nun bahwa di era saat ini sulit untuk mencari khalifah murni?
Ah rasanya saya ingin
tertawa. Manusia sudah mendekati sifat iblis yang selalu menyombongkan siapa
dirinya. Bedanya, manusia lebih pandai dalam mengemas kesombongan tak kentara. Gula oh gula.
Komentar
Posting Komentar