CATATAN TADI PAGI
Pagi ini aku kembali
melanjutan aktivitas. Mencuci.
Sedikit ada yang
berbeda dari biasanya. Headphone yang tertinggal di rumah membuatku kesepian
saat mencuci seperti saat ini. Sebagai gantinya, mulutku lah yang harus
menggantikan bait-bait lagu hardcore yang sering terputar dalam format mp3.
Tapi tak sampai satu lagu selesai, di sebelahku ada teman yang datang mencuci
juga. Bukan pakaian, melainkan peralatan makan. Teman dari luar pulau Jawa,
tepatnya Flores. Lumayan dapat teman ngobrol.
Sembari mencuci, aku
menanyakan beberapa hal yang selama ini masih menjadi misteri dalam benakku.
Memang, selama beberapa semester bersama dengan teman-teman lintas pulau ini
aku jarang sekali berinteraksi dengan mereka. Bukan karena apatis, tetapi tumpukan
kesibukan telah mengalihkan wajah kami untuk saling berbagi. Setiap hari kami
hanya mendapat kesempatan untuk sekadar menyapa atau hanya berbagi senyum
lintas budaya yang memiliki ciri. Percakapanpun kami mulai dengan bahasa
nasional berlogat Flores dan Banyuwangi.
“Mas, suatu hari saya
ingin pergi ke Flores. Flores bagus ya”
“Dari mana mas tahu?”
“Dari google..:D Pantai
di sana luar biasa indah mas. Sepertinya belum terjamah ya.”
“Benar, Flores sangat
bagus mas. Belum banyak orang mengetahui Flores. Pantai di sana masih belum
terjamah, mas tahu pantai Koka kan? Itu pantai pasir putih yang masih alami.
Ayo ke Flores.”
“Kira-kira berapa uang
yang harus saya keluarkan untuk sampai di sana?”
“Kira-kira untuk
transport pulang pergi sekitar satu juta. Untuk lain-lain setelah mas sampai disana,
serahkan kepada kita.”
“Wah. Kalau begitu
kelak saya akan ke sana mas. Saya akan mengumpulkan biaya. Ohya mas, bagaimana
dengan penduduk di sana? Apakah ada orang rantau dari Jawa?”
“Banyak sekali. Hampir
semua orang yang berjualan di sana adalah perantau dari Jawa, di daerah Mamere
terutama. Ada warung bakso Solo dan warung-warung lain yang penjualnya adalah
orang Jawa.”
“Bagaimana dengan
orang-orang di sana mas? Lalu untuk kondisi alam di sana bagaimana?”
“Tenang saja mas, orang
Flores ramah sekali. Kami sangat rukun. Mungkin kalau bisa dikatakan, Flores
itu pulau pelajar. Hampir semua pemuda di Flores adalah perantau yang pergi ke
luar Flores untuk menuntut ilmu. Kalau mas tanya, kami hampir tahu semua pulau
di Indonesia. Kami banyak merantau di Jawa, Papua, Sumatra, Kalimantan, dan
pulau-pulau lainnya. Kondisi alam di Flores tidak jauh beda dengan di sini,
bahkan Flores lebih asri. Alamnya masih alami. Flores tergolong daerah yang
subur.”
“Untuk peluang
pekerjaan bagaimana mas?”
“Peluang pekerjaan di
sana banyak mas. Tetapi upah kerja di sana masih jauh dengan Jawa, contohnya di
Malang. Di sana upah minimal masih sekitar 700 ribu.”
“Bagaimana dengan
harga-harga kebutuhannya mas? Apakah sebanding dengan upah yang di terima?”
“Harga kebutuhan di
sana murah. Dengan upah segitu kita bisa beli apa yang kita ingin mas. Tidak
perlu hawatir, alam di sana bersatu dengan manusia. Sayuran melimpah di
sekeliling kita. Bahkan kita tidak perlu membeli. Meskipun tidak bekerja, orang
orang di sana masih bisa hidup. Kita mengandalkan hidup dari kita punya kebun.
Kalau kita butuh beras, kita tinggal tukar dengan hasil kebun seperti
umbi-umbian dan hasil kebun lainnya.”
“Menarik mas. Flores
benar-benar menjanjikan.”
“Mas datang saja ke Flores,
nanti kita yang atur semuanya. Mas tidak perlu khawatir kalau datang ke
Flores.”
“Ada hal menarik yang
ingin mas katakan?”
“Di sana ada yang
kurang mas. Tidak ada apel di sana.”
“Apel??? (di benakku
masih bingung. Ia mengatakan apel dengan fonem berarti “kencan” dalam
pengertian anak-anak Jawa.”
“Iya, kalau buah
lainnya bisa hidup. Tapi apel tidak bisa tumbuh di sana. Kita sudah mencoba
tapi tidak pernah berhasil.”
“Oh buah apel.”
Ia pergi masuk ke
kemarnya kembali setelah tugasnya selesai. Ia meningalkanku ketika tawa kecil
ini masih berserakan dari tempatnya.
Percakapan pagi ini
memberikanku pelajaran. Ada sesuatu yang penuh substansi. Sederhana tetapi
syarat akan makna.
Betapa tidak. Selama
ini aku berusaha untuk keluar dari kota kelahiranku untuk menepis bahwa aku
bukanlah orang yang terikat dengan batas-batas teritorial tempat kelahiran. Aku
tidak dilahirkan menjadi orang yang primordial, kecuali kepada Tuha. Aku keluar
dari wilyah asliku untuk mencari pengalaman dan pengamalan terhadap spirit CINTA
INDONESIA yang banyak didengungkan oleh para pemuda. Sayang, sebagaian besar
hanya sebatas tersurat di lembaran belaka.
Aku masih kalah dengan
mereka. Aku kalah dengan sosok pemuda-pemuda dari Flores yang selama ini masih
banyak dipandang setengah mata. Mahasiswa Flores di tempat rantauku ini dikenal
dengan arogansinya, kejorokannya dan hal-hal buruk lainnya. Anak-anak Flores
katanya bebas aturan. Mungkin orang awam menilai mereka dari selera musik
mereka yang beraliran kebebasan.
Tidak. Orang Flores
tidak seperti itu. Mereka lebih keren dan lebih dewasa dari anak-anak Jawa
(tidak semua). Temanku menjelaskan dengan begitu meyakinkan disertai bukti yang
ada. Pemuda Flores adalah jiwa-jiwa sejati yang tidak terikat dengan warisan
tradisi. Mereka adalah orang-orang yang berani. Berani meninggalkan pulau
dengan tujuan menuntut ilmu. Mereka berani berhadapan atau kadang bersinggungan
dengan kebudayaan-kebudayaan baru. Mereka berani berekspresi seolah-olah
seluruh penjuru bumi ini adalah tempat yang sangat pantas dan patut disyukuri
untuk mereka huni.
Mereka luar biasa.
Tidak seperti beberapa orang Jawa dalam tanda kutip. Masih banyak orang Jawa
yang hanya jago kandang. Merasa pintar atau sangat bangga bahwa dirinya lebih
pintar. Tapi sayang, kepintarannya hanya ada di kandang. Masih banyak orang
Jawa yang enggan keluar dari tanahnya untuk menginjak tanah lain dari budaya
yang berbeda. Saat ini termasuk saya. Masih banyak pula orang Jawa yang
tergantung dengan tanahnya. Mau bekerja hanya di Jawa dengan alasan gaji
menjanjikan. Mau tinggal hanya di Jawa karena Jawa lebih nyaman. Jawa Jawa Jawa
dan Jawa. Primordialitas orang Jawa masih terlalu tinggi.
Flores bukan berati
jauh tertinggal dari Jawa. Hanya saja, asumsi rakyat semesta masih sering
salah. Flores itu wilayah yang asri. Tidak mudah untuk dijajah oleh teknologi
dan modernisasi. Udik? Bukan. Mereka hebat kok. Flores selangkah lebih cerdas
daripada kita. Flores dipenuhi dengan filterisasi. Tidak seperti sebagian kita
yang sangat mudah menyerap modernisasi dengan alasan kemudahan, gaul, dan
trendi.
Flores ternyata penuh
kearifan. Percakapan dengan temanku membuatku bisa menilai. Ia sangat cerdas
dengan balutan kearifan lokal yang ia bawa. Selama ini asumsiku salah. Apalagi
bu Kos, yang sering memarahinya.
Rasa penasaranku
semakin mendalam. Suatu hari aku akan pergi untuk membuktikannya. Terima kasih
kawan. Kamu telah memberikan pelajaran berharga bagiku. Secara tidak langsung
kamu memberikan nasehat kepadaku kalau aku harus mencari pengalaman seluas
mungkin, berani keluar dari kandang, membuktikan spirit cinta Indonesia, dan
pelajaran berharga lainnya. Aku semakin sadar bahwa berbaur dengan para pencari
ilmu dari berbagai wilayah di Indonesia, membuat khasanah pengetahuan kita
lebih kaya. Tidak hanya jago kandang tentunya.
Flores. Wilayah yang
akan aku letakkan ke daftar impian selanjutnya setelah, Makassar, Kendari,
Papua, dan Tanah Toraja. Indonesia tidak hanya Jogjakarta, Bali, Bandung,
ataupun Jakarta.
Komentar
Posting Komentar